kata-kata mutiara

Presiden Soekarno mengatakan :
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya"

Presiden John Fitzgerald Kennedy mengatakan :
"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu."

Senin, 22 Agustus 2011

Redefinisi Putra Daerah Kalimantan Timur -Kaltim Post, Juni 2007

dipublikasikan oleh Nugra Ze melalui KALTIM POST-JUNI 2007
Siapa putra daerah? Apakah penduduk (suku) asli yang telah menetap turun temurun. Ataukah (suku) pendatang yang lahir dan besar di Kalimantan Timur (Kaltim), dan memiliki KTP Kaltim juga berhak menyandang gelar sebagai Putra Daerah? pertanyaan ini layak dikemukakan mengingat penyandang gelar putra daerah sangat mempengaruhi akses terhadap kepentingan, kebijakan, politik, kekayaan dan interaksi dalam wilayah ini.
Kaltim yang belakangan ini dikenal sebagai pulau dengan kekayaan alam melimpah ruah, dihuni oleh berbagai suku asli seperti Dayak, Kutai, Tidung, Berau, Banjar dan lain-lain. Dalam perjalanan sejarahnya kemudian terjadi interaksi regional dan global dengan berbagia suku bangsa di nusantara ini. Kerajaan Kutai misalnya, pernah disambangi berbagai kerajaan dari Jawa, Sumatra, dan Bugis. Bahkan Kekaisaran China pun pernah mengirim utusan ke Kerajaan Kutai Kartanegara (Kukar) di abad pertengahan.
Pada paruh akhir millenium kedua, terjadi migrasi secara masif dari Kerajaan Bugis (Wajo) yang meminta suaka politik pada Kerajaan Kutai yang kemudian diberikan tempat menetap di tepian sungai Mahakam. Tempat yang disebut-sebut sebagai 'sama rendah' (karena topografi yang landai/rendah) itu kemudian dikenal sebagai Samarinda.
Interaksi yang terbangun selama berabad-abad lamanya kemudian melahirkan akulturasi dan asimilasi (peleburan dan penyesuaian) antara suku (bangsa) asli dan suku pendatang yang memiliki kultur dan adat relatif berbeda, khususnya pada daerah pesisir. Terjadilah perkawinan silang antar suku dan melahirkan evolusi/inovasi kultur/kultur baru pada perkembangan selanjutnya. Belakangan kita kemudian menyaksikan sebuah fenomena unik, dimana terjadi dominasi dalam hampir segala aspek kehidupan dari pendatang terhadap penduduk (suku) asli Kaltim. Hal ini tentu akan melahirkan implikasi kecemburuan sosial dalamtahap-tahap interaksi masyarakat ke depannya.
Siapa tuan rumah, siapa tamu?
Kita analogikan melalui eksistensi sebuah rumah. Ada pihak yang disebut sebagai tuan rumah dan ada yang disebut sebagai tamu. Dalam adab ramah tamah kita mengenal sikap bahwa, tuan rumah harus memuliakan tamu, pada saat yang sama, tamu harus tahu diri. Akhlak ini akan melahirkan kondisi yang kondusif dan toleransi indah dalam komunikasi sosial sehari-harinya.
Tragedi Sampit yang memilukan beberapa tahun lalu, mengingatkan kita pada pepatah, dimana kaki dipijak, disitu langit dijunjung. Inilah idealisme. Pada realitasnya kitamenemukan kondisi yang memprihatinkan. Sumber daya manusia penduduk asli Kaltim yang lemah dan dibawah rata-rata kemudian menjadi pintu masuknya pendatang dari (umumnya Jawa dan Sulsel yang memiliki kompetensi SDM yang lebih baik. Sebuah pemandangan umum, karyawan, pegawai yang bekerja baik di pemerintahan maupun perusahaan swasta diwarnai masyarakat (suku) pendatang. Sementara penduduk setempat justru termarjinalkan dan kurang mendapat tempat.
Padahal kalau kita terawang di Jawa maupun di Sulsel, sangat sulit menemukan adanya dominasi pendatang di daerah tersebut. Definisi putra daerah di Sulsel, adalah orang Bugis, Makassar, Luwu, Toraja dan lain-lain. Begitu pun di Jawa, Sunda, Betawi, Madura.
Akses jabatan dan politik di pemerintahan, maupun di wilayah bisnis tentu dipegang warga setempat. Sangat terbalik dengan apa yang terjadi di Kaltim. Akses-akses strategis tersebut justru dipegang oleh pendatang. Dari jabatan Gubenur, Bupati, Ketua DPRD, Kabag-kabag dan seterusnya. Kebutuhan warga pendatang terhadap akses kekayaan alam di Kaltim tentu menginginkan gelar sebagai Putra Daerah Kaltim. Bahkan belakangan seperti diberitakan di media Kaltim, muncul seorang figur pendatang (Bugis) yang mengklaim dirinya sebagai ketua adat masyarakat lokal. Yang menjadi persoalan, penduduk asli justru dapat dihitung dengan jari dalam posisi strategis yang notabene di rumahnya sendiri. Tamu telah menyantroni tuan rumah?
Kekhawatiran kita adalah terjadi akumulasi konflik dan benturan dominasi yang berujung pada kerusuhan massa seperti tragedi Sambas dan Sampit. Kita semua tidak menginginkan hal ini. Kondisi sosial masyarakat telah telanjur memasuki tahap 'lampu kuning', perlu untuk di tata ulang sehingga seorang 'tuan rumah' mendapat haknya selayaknya pemilik rumah.
Maka diperlukan program dan kebijakan yang mendukung revitalisasi dan peningkatan sumber daya manusia warga asli Kaltim. Sudah sepatutnya tuan rumah mengelola rumahnya sendiri, jika ia belumpandai, maka tugas pemerintah untuk memberikan pendidikan ketrampilan dan keahlian padanya. Bagaimana melakukan penataan kota, stabilitas dan peningkatan ekonomi, membangun infrastruktur dan lain-lain. Psikologi masyarakat asli tentu ingin rumahnya tetap aman dan nyaman untuk dihuni.
Kerusakan alam baik perambahan hutan maupun eksploitasi sumber daya alam telah melahirkan bencana-bencana yang berakibat buruk bagi warga setempat. Siapakah yang melahirkan kebijakan yang melonggarkan eksploitasi besar-besaran tersebut? Jika alam Kaltim telah rusak, kemanakah masyarakat ini akan bermigrasi? Para tamu bisa pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara tuan rumah telah kehilangan tempat tinggalnya. Semoga menjadi perenungan kita bersama.
Nugra Sius S

Kamis, 18 Agustus 2011

SEJARAH dan KEBUDAYAAN MA'ANYAN

SEJARAH dan KEBUDAYAAN MA'ANYAN merupakan judul buku yang ditulis oleh Sutopo Ukip, Djanang G. Bandan dan Martinus.
Buku ini ditulis tahun 1991, diwartakan ke Pengurus DUSMALA Jabodetabek beserta anggotanya namun tidak mendapatkan respon yang signifikan.
Dan buku ini tidak terpublikasikan secara resmi ke umum sampai sekarang.

Beberapa tulisan Sutopo Ukip :
1. Asal Mula Penyebutan Tamianglayang, di buku SEJARAH dan KEBUDAYAAN MA'ANYAN, 1991
2. Balai Adat Jadi Lambang Persaudaraan Orang Ma'anyan, Banjar dan Madagaskar, di surat kabar SUARA PEMBARUAN-Kamis, 12 September 1991
3. Orang Merina Madagaskar di Afrika berasal dari Suku Dayak atau Bugis.

Ketiga tulisan beliau dipublikasikan ulang di dalam blog ini (http://bahasamaanyan.blogspot.com) dan cukup mendapat respon dari pembacanya.


RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Sutopo Ukip, terlahir dengan nama Tapa Ukip, lahir pada tanggal 20 Juli 1936 di desa Ja'ar, Kalimantan Tengah. Pendidikan yang diperoleh, Sekolah Rakyat di Tamiang Layang tahun 1949, Sekolah Teknik Negeri di Kediri Jawa Timur tahun 1954 dan Sekolah Teknik Menengah Negeri di Malang tahun 1956. Pendidikan Akademi Teknik Pekerjaan Umum Jurusan Arsitektur di Bandung tahun 1961, serta pernah mengikuti pendidikan Lintas-Jalur jurusan Teknik Sipil di Universitas Diponegoro tahun 1982 di Semarang. Sekarang Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Departemen Pekerjaan Umum Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya pada tahun 1988 dan pernah menerima Piagam Satya Karya 20 tahun, 25 tahun, 30 tahun dan Satyalancana Karya Satya Kelas III dari Pemerintah. Pernah menjadi ketua Kesenian Sanggar Nansarunai di Anjungan Paviliun Propinsi Kalimantan Tengah Taman Mini Indonesia Indah dari tahun 1986-1990, juga pernah mengikuti Seminar dari berbagai disiplin ilmu.

Djanang G. Bandan, lahir pada tanggal 24 April 1958, di Tamiang Layang. Pendidikan yang pernah diperoleh, Sekolah Dasar Negeri, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1972, 1975 dan 1979 di Tamiang Layang. Lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin pada tahun 1985, jurusan Pemerintahan. Juga pernah mengikuti seminar diberbagai disiplin ilmu serta menulis artikel diberbagai surat kabar harian.

Martinus, lahir pada tanggal 4 Nopember 1949 di daerah Tamiang Layang. Pendidikan yang diperoleh Sekolah Dasar Negeri, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1963, 1966 dan 1969. Pernah kuliah di Sekolah Thelogia Jakarta pada tahun 1970 dan sekarang Karyawan Swasta di Jakarta.

Demikianlah penulis blog menyampaikan informasi ini kepada pembaca setia.






Silsilah Mendrei-Lindun



























Silsilah Mendrei-Lindun
Asal Paju Epat, Telang Murutuwu-Barito Timur


Madara, Kalteng, kampung lahirnya Abahku, menjadi tempat perdamaian antara pemerintah dengan GMTPS (Gerakan Mandau Telewang Pancasila) pimpinan Ch Simbar (sepupu Kakek). GMPTS lah yang membuat pemerintah mempercepat pembentukan Kalteng, karena gerakan diplomasi Kalteng pimpinan Mahir Mahar-Tjilik Riwut kurang mendapat respon dari pemerintah.
Selasa pukul 10:25
S

Rabu, 17 Agustus 2011

Pdt. Mardonius Blantan - Pendeta Pertama Dayak Maanyan

sumber dari
Ferry Tuahnu Waning dan tanahdayak.blogspot

Usulkan untuk menjadi pahlawan nasional serta pahlawan gereja di Kalimantan, cari dukungan untuk ini, kita butuh figur yang dapat dikenang bagi kemajuan injil hingga Kalimantan dipersembahkan bagi Yesus Kristus.
Salah seorang Pendeta Pertama Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) yang pada mulanya bernama Gereja Dajak Evangelis (GDE).
Salah satu dari lima (5) Pendeta Dayak pertama GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS. Berasal dari Tamiang Layang, cicit dari Temenggung Djajakarti (Djelan), cucu dari Djajakarti (TAMPE), anak dari Albert Blantan (Temenggung Djajakarti Anoem Demang Kepala Adat Dusun Timur daerah Paju Sepuluh.
Pdt. Mardonius Blantan adalah anak kedua dari tujuh orang bersaudara, orang tua beliau bernama Albert Blantan adalah seorang guru lulusan Seminari Depok Betawi dan menjadi Demang Kepala adat sekaligus Kepala Daerah Dusun Timur Tamiang Layang dan ibu beliau bernama Katarina yang mempunyai anak sbb :
1. Elisabet
2. Mardonius
3. Hermine
4. Emilia
5. Emanda
6. Esra
7. Jeremia

Pdt. Mardonius Blantan lahir di Tamiang Layang pada tanggal 13 Mei 1904, mendapatkan pendidikan di Seminari Banjarmasin, kemudian mengajar di Standar School Tamiang Layang dari tahun 1924 sampai 1932.
Pada tahun 1933 dipanggil untuk melanjutkan pendidikan di sekolah pendeta di Banjarmasin.

Pada tanggal 4 April 1935 ditahbiskan bersama dengan 4 (empat) orang rekan beliau sebagai Pendeta pertama orang DAYAK di Kalimantan pada GEREJA DAJAK EVANGELIS. (yang oleh Bpk. Marko Mahin disebut sebagai "LIMA PENDEKAR DAYAK").
Kemudian beliau ditugaskan menjadi pendeta di Tewah Pupuh yang meliputi daerah :
1. Banua Lima
2. Tabalong
3. Hulu Sungai

Pada tahun 1940 pecah perang dunia ke-2, pendeta-pendeta misionaris yang berasal dari Zending Bassel Swiss dipulangkan ke negeri asal mereka, pada tahun itu juga Pdt. Mardonius Blantan dipindahkan ke Tamiang Layang untuk melaksanakan pelayanan.
Pelayanan dipusatkan di Tamiang Layang (Resort) yang meliputi daerah :
1. Paju Sapuluh (Tamiang Layang)
2. Paju Epat (Telang)
3. Paku Karau (Ampah)
4. Banua Lima
5. Tabalong
6. Hulu Sungai
sampai dengan batas Bentot, Buntok dan Muara Teweh.
Daerah ini sangat luas, dan hanya dilayani oleh 1 (satu) orang pendeta, transportasi yang ada pada waktu itu hanya sepeda, tapi beliau melayani TUHAN dengan tulus tanpa keluh dan kesah untuk memenangkan jiwa-jiwa masyarakat DAYAK yang masih hidup dengan kepercayaan asli (KAHARINGAN).

Pada pelayanan ini beliau dibantu oleh para "Pemberita" (Penginjil), yaitu :
1. Daerah Banua Lima : Johan Migang
2. Daerah Tabalong : Mursalim
3. Paju Epat : Rodol Bukit dan Andros Susi
4. Tamiang Layang : Abel Sanggen
5. Paku Karau : Alfrit Halim

Pada tahun1957 beliau dipindahkan ke Banjarmasin menjadi Bapak Asrama di sekolah Teologia dan menjadi dosen di Akademi Teologia sampai masa pensiun. Kembali lagi ke Tamiang Layang, tetap bertugas sebagai pendeta dan mengajar pelajaran Agama Kristen di SMP dan SMA sampai beliau sakit-sakitan.
Dan pada tanggal 15 Juli 1980 beliau dipanggil oleh TUHAN, Bapa yang selalu menjadi dijadikan beliau sebagai Batu Karang yang membuat beliau selalu kuat dalam pelayanan.
Beliau meninggalkan seorang istri yang sangat setia mendampingi beliau dalam pelayanan, seorang istri yang penuh dedikasi menyerahkan hidup dalam dirinya untuk pekerjaan TUHAN.
Istri beliau Ny. Wihellie Anggen meninggl pada tahun 2003 dalam usia 94 tahun.

Demikian riwayat singkat perjalanan hidup dan pelayanan Pdt. Mardonius Blantan.
Tulisan ini ditulis oleh Ferry Tuahnu Waning, berdasarkan penuturan Ibunda Anna Emelia Blantan-Waning dan Bibinda Maritje Blantan-Hangat.
Dedikasi kepada :
1. Almarhum Pamanda FRANKLIN BLANTAN
2. Almarhum Pamanda OSCAR BLANTAN
3. Bibinda MARITJE BLANTAN
4. Ibunda ANNA AMELIA BLANTAN
5. Bibinda CONELIA BLANTAN
6. Almarhum Pamanda JOHANES ADRIANUS BLANTAN
7. Almarhum Pamanda MARKUS BLANTAN dan Almarhum Bibinda JULIDA BLANTAN (kembar)
8. Bibinda ROSALINE BLANTAN
9. Bibinda SOPHIA BLANTAN
10. Bibinda YANIKA BLANTAN
11. Saudara-saudara ku yang terkasih dalam TUHAN YESUS KRISTUS
serta seluruh keluarga besar BLANTAN dimanapun berada.