kata-kata mutiara

Presiden Soekarno mengatakan :
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya"

Presiden John Fitzgerald Kennedy mengatakan :
"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu."

Selasa, 19 Oktober 2010

Jumlah Kepala Keluarga PW GKE Jakarta Raya dan Sekitarnya

Wilayah Jakarta Pusat sebanyak 34 KK

Wilayah Jakarta Utara sebanyak 19 KK

Wilayah Jakarta Barat sebanyak 22 KK

Wilayah Jakarta Timur sebanyak 84 KK

Wilayah Jakarta Selatan sebanyak 94 KK

Wilayah Bekasi sebanyak 39 KK

Wilayah Bogor sebanyak 38 KK

Wilayah Depok sebanyak 20 KK

Wilayah Tangerang sebanyak 55 KK

Data berdasarkan buku alamat warga GKE Jakarta Raya dan sekitarnya tahun 2010

SUSUNAN PENGURUS PW GKE TAHUN 2008-2011

SUSUNAN PENGURUS
PELAYANAN WARGA GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
JAKARTA RAYA DAN SEKITARNYA
TAHUN 2008 -2011

Sekretariat : Jalan Dewi Sartika No. 136 Cawang, Jakarta Timur

Ketua Umum : Punding Baner Awan
Ketua I : Nimer Widen
Ketua II : B. Tuhas Saloh

Sekretaris : Tamunan Kiting
Wakil Sekretaris : Jaharah Natalia Toemon

Bendahara : Bintan Willem Moesa
Wakil Bendahara : Erisa Maranata Toemon

Seksi Paduan Suara : Jenny Seth Soan
Seksi Pemuda : Barbara Winiladya Moesa
Seksi Sekolah Minggu : Joanita Julianery
Seksi Diakonia & Perkunjungan :

Pesan dan Inspirasi Kuat bagi ACEH-PAPUA-DAYAK

Pesan dan Inspirasi Kuat bagi ACEH-PAPUA-DAYAK
Disampaikan oleh seorang kawan dari Papua







Sabtu, 16 Oktober 2010

Terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah

Terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah.
Yang Mengaku Orang Maanyan atau Generasi Maanyan wajib tahu.

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, maka mulailah kemerdekaan itu diisi dengan berbagai kegiatan pembangunan. Untuk memacu pembangunan diseluruh tanah air, maka dilakukan pembagian wilayah Republik Indonesia itu menjadi beberapa daerah Tingkat I. Daerah Tingkat I terdiri dari beberapa buah daerah Tingkat II, yang selanjutnya dibagi lagi dalam beberapa buah kecamatan. Pembangunan atau pembagian wilayah itu merupakan manivestasi dari UUD 1945 BAB VI pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah. Pembagian wilayah menjadi Tingkat I, Tingkat II dan daerah Kecamatan untuk lebih mempermudah kegiatan pembangunan, pemerintahan serta kemasyarakatan dalam mengupayakan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada awal kemerdekaan pulau Kalimantan hanya mempunyai satu buah propinsi yang berkedudukan di Yogyakarta. Untuk memacu pembangunan oleh pemerintah pusat dilakukan pemekaran daerah menjadi beberapa buah propinsi. Semula propinsi Kalimantan Selatan, mencakup juga wilayah Kalimantan Tengah sekarang. Adapun propinsi yang ada waktu itu ialah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Perjuangan untuk dapat berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah yang terlepas dari Propinsi Kalimantan Selatan banyak mengalami hambatan. Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah berkeinginan untuk mempunyai sebuah propinsi tersendiri yang lepas dari Propinsi Kalimantan Selatan.
Pemisahan itu diharapkan agar dalam hal pengurusan roda pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan tidak berkaitan dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Pemisahan itu masih dalam batas kesatuan dan persatuan Negara Republik Indonesia. Yang diinginkan oleh masyarakat Kalimantan Tengah hanyalah soal kepengurusan administrasi dari pemerintahan tidak lagi bergantung dengan Propinsi Kalimantan Selatan.
Untuk dapat berdirinya propinsi ini rakyat mencoba melalui perjuangan yang ditampung dalam Gerakan Mandau Talabang Pancasila. Hal itu dilakukan karena mula-mula hasrat suku Dayak di Kalimantan Tengah kurang dihiraukan oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian mereka terpaksa melakukan kekerasan untuk mendesak Pemerintah Pusat mengabulkan keinginan mereka. Perkumpulan rahasia yang bernama Gerakan Mandau Tabalang Pancasila yang sifatnya amat militant pernah melaksanakan suatu serangan bersenjata terhadap beberapa pos pemerintah, antara lain di Buntok dan pernah menggerakan pemberontakan di Tamianglayang (buku bacaan : Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia tahun 1987 halaman 140).
Dalam usaha untuk dapat berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah maka bergeraklah perjuangan GMTPS yang dipimpin oleh Ch. Simbar.
Perjuangan GMTPS yang dipimpin oleh Ch. Simbar, hanyalah bertujuan terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah dapat dikabulkan oleh Pemerintah Pusat. Berbeda dengan yang dilakukan Ibnu Hajar yang menginginkan bentuk negara lain yang tidak sesuai dengan perundangan yang ada. Usaha yang dilakukan oleh Ch. Simbar cs, dengan dibantu oleh pejabat lainnya dan mendapat restu pemerintah pusat, maka apa yang diperjuangkan oleh GMTPS akhirnya dikabulkan. Para pejabat teras yang ada dikantor Gubenur Kalimantan selatan pada waktu itu secara implisit juga merestui usaha yang dilakukan oleh gerakan tersebut, mengingat luas wilayah yang termasuk dalam propinsi Kalimantan Selatan waktu itu. Dengan terbentuknya propinsi Kalimantan Tengah maka diharapkan nantinya kegiatan roda pemerintahan dalam arti yang luas dapat lebih berdaya guna serta berhasil guna bagi seluruh masyarakat Kalimantan Tengah. Propinsi Kalimantan Tengah berdiri pada tanggal 23 Mei 1957 dengan beribu kota Palangkaraya. Setelah propinsi Kalimantan Tengah berdiri ada terdapat pemberitaan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya, mengenai usaha yang dilakukan oleh Ch. Simbar. Ada keterangan yang kurang mencerminkan sifat kebersamaan yang luhur dari segenap lapisan anggota masyarakat daerah ini. Dikatakan seolah-olah hanya segolongan masyarakat Kalimantan Tengah saja yang menginginkan wilayah Kalimantan Tengah terlepas dari Propinsi Kalimantan Selatan.
Keterangan yang disampaikan itu terlalu sepihak, karena berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah yang terlepas dari Propinsi Kalimantan Selatan merupakan keinginan seluruh anggota masyarakat yang ada diwilayah tersebut. Usaha yang dilakukan oleh GMTPS dipersembahkan kepada seluruh lapisan masyarakat yang ada di Kalimantan Tengah, agar mereka turut berpartisipasi didalam semua kegiatan pembangunan meliputi pengertian yang lebih luas. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan anggota masyarakat secara bersama-sama, tidak hanya ditujukan kepada salah satu golongan saja. Dengan demikian semua anggota masyarakat dapat merasa damai, aman serta sejahtera bersama-sama daerah lainnya di Nusantara. Sesudah berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah, tidak ada tuntutan khusus dari anggota masyarakat dimana daerah mereka dijadikan basis GMTPS. Anggota masyarakat yang banyak menerima atau menanggung beban selama aksi GMTPS itu berlangsung adalah masyarakat diwilayah Kalimantan Tengah secara umum dan khusus adalah anggota masyarakat daerah Ampah, Dayu, Hayaping serta daerah-daerah lainnya. Yang banyak menanggung beban penderitaan selama GMTPS berlangsung adalah daerah Hayaping. Hal ini disebabkan basis gerakan tersebut ada didaerah Hayaping.
Kontak senjata dengan keamanan setempat telah meminta banyak korban dikedua belah pihak. misalnya pertempuran didaerah Mamun'da masih termasuk desa Dayu meminta banyak korban dari rakyat. Melihat keadaan yang kurang menguntungkan tersebut, maka pemerintah pusat dengan cepat mengambil kebijaksanaan untuk mengakhiri aksi GMTPS melalui jalan perundingan. Perundingan dengan pemerintah pusat, telah menghasilkan direstuinya apa yang menjadi alasan gerakan ini sekalipun dilakukan dengan tidak berdasarkan hukum.
Setelah keadaan menjadi aman dari segala kegiatan yang menuntut berdirinya propinsi yang baru itu, maka oleh Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai sebuah propinsi yang ke-17, dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian pemimpin dari GMTPS, berjanji setia kepada negara Republik Indonesia dan tidak lagi melakukan kegiatan semacam yang sudah berlalu.


Pengertian Dayak dan Daya

Pada beberapa abad yang silam orang-orang dari negeri asing datang untuk mengadakan perdagangan keberbagai wilayah Nusantara. Kapal mereka menyinggahi bandar-bandar yang ada disetiap daerah atau wilayah Nusantara untuk mengambil barang hasil bumi, serta menjual barang bawaan mereka untuk keperluan penduduk setempat. Setelah dapat berhubungan dagang dengan penduduk setempat, rupanya mereka juga berkeinginan menguasai wilayah Nusantara. Setelah kepulauwan Nusantara dapat dikuasai mereka, maka para peneliti yang mereka miliki, berkeinginan mengadakan penelitian diberbagai wilayah yang ada di Nusantara ini termasuk juga pulau Kalimantan. Para ahli banyak menemukan beraneka ragam suku dengan beraneka ragam sosial budaya yang terdapat di pulau ini.
Hal inilah yang menyebabkan para peneliti ada yang berminat mengadakan penelitian didaerah ini. Penduduk yang ada di pulau ini, dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yang besar yakni yang bertempat tinggal :
  1. Penduduk pendatang biasanya mendiami pesisir pantai serta muara-muara sungai yang besar yang terdapat di daerah ini, misalnya Bugis, Melayu dan lain sebagainya.
  2. Sedangkan penduduk asli Kalimantan atau yang pertama mendiami pulau tersebut, biasanya berada dipedalaman dengan keadaan sosial budaya yang sangat sederhana sekali.
Kemudian dari segi kepercayaan dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian yakni :
  1. Bagi penduduk yang bermukim dipesisir pantai, dan muara sungai mempunyai tingkat sosial budaya yang sudah maju kalau dibandingkan dengan penduduk asli. Biasanya mereka ini telah mempunyai kepercayaan yang umumnya Islam.
  2. Dan bagi anggota masyarakat yang bermukim dipedalaman, baik itu ditepi sungai ataupun didaerah perbukitan biasanya mempunyai kepercayaan Animisme.
Perkembangan zaman serta pertukaran waktu yang terus berganti akhirnya sampai juga kepercayaan baru diluar Islam menyentuh kehidupan serta penghidupan penduduk yang terletak dipedalaman.
Perkembangan inilah yang menyebabkan adanya asimilasi penduduk setempat dengan penduduk pendatang yang melahirkan generasi yang baru. Generasi baru ini tidak mau menyebutkan dirinya dengan sebutan Dayak yang berarti sama dengan keterbelakangan yang sesuai dengan asal usul mereka, karena tingkat sosial budaya mereka yang sudah agak maju, maka anggota masyarakat ini menyebutkan diri mereka sendiri dengan sebutan Daya.
Hal yang demikian itulah yang perlu diseragamkan agar tidak membuat suatu pertentangan yang membingungkan. Perbedaan penyebutan yang berkenaan dengan suku-suku yang berdomisili dipedalaman atau berasal dari pedalaman cukup beralasan dan dapat dipertanggung jawabkan, misalnya Mikhail Coomans dalam bukunya yang berjudul MANUSIA DAYA, menyebutkan orang Daya bagi anggota masyarakat yang bermukim didaerah pedalaman Kalimantan dan yang tidak beragama Islam. Ada lagi contoh yang pernah diutarakan oleh mantan Gubenur Kalimantan Barat Oyang Oray antara tahun 1960-1965 yang mengatakan bahwa penduduk pedalaman di Kalimantan Barat sudah kurang tepat disebut sebagai Dayak karena sudah tidak terbelakang lagi. lalu ia mengambil contoh Suku Dayak Iban menjadi Daya Iban.
Kedua pernyataan tersebut diatas disebabkan masing-masing dilihat dari segi kepercayaan dan pendidikan yang telah diterima oleh anggota masyarakat suku Dayak yang berada di pedalaman. Akan tetapi yang diharapkan dalam hal ini adalah keberadaan suku-suku pedalaman Kalimantan ditengah suasana perkembangan yang mulai menyerap segala aktifitas diseluruh kehidupan anggota masyarakat. Kalu kita menoleh kebelakang untuk beberapa saat, dan melihat salah satu suku yang ada di Kalimantan Tengah yakni suku Dayak Kapuas (Ngaju, Biaju) setelah diteliti maka ternyata mereka ini berasal dari suku Ot Danum. Oleh karena berasimilasi dari penduduk luar suku tersebut, maka melahirkan generasi baru. Generasi yang baru ini cepat menerima perubahan serta perpindahan tempat tinggal, akan tetapi tidak lagi tinggal dipedalaman melainkan tinggal di daerah-daerah muara sungai yang ada disekitarnya.
Cepatnya menerima budaya yang baru khususnya agama Kristen yang dibawa oleh Zending Bazel yang membawa suku ini kedalam kemajuan yang cukup berarti. Akan tetapi mereka tidak mempemasalahkan soal sebutan suku Dayak atau Daya dan yang terpenting adalah kemajuan yang mereka miliki. Ada juga anggota masyarakat yang merasa tidak puas kalau mereka disebut suku Dayak Biaju. Karena sebutan tersebut kurang mewakili kelompok anggota masyarakat sehingga mereka lebih cenderung kepada sebutan suku Dayak Kapuas atau Ngaju. Perubahan istilah sebutan Dayak menjadi kata Daya, bagi kelompok masyarakat yang ada di daerah ini, tidak terlalu menjadi perhatian karena ada perbedaan istilah Dayak menjadi Daya menimbulkan banyak arti yang mewakili kelompok mereka.
Ada pendapat yang mengatakan kalau masih menggunakan sebutan Dayak, akan melahirkan suatu pertanyaan banyak bahasa yang dipakai, adat istiadat, norma yang berlaku serta kepercayaan yang banyak kepada dewa-dewa dan masih terisolir dari kelompok yang lain. Sehingga melahirkan pendapat yang mengatakan bahwa kelompok yang menamakan diri mereka dengan sebutan Daya berada disatu tingkat dari kelompok atau anggota masyarakat dipedalaman Kalimantan lainnya. Hal demikian itu perlu diteliti kebenarannya. Masih banyak kelompok atau anggota masyarakat yang menyebutkan diri mereka dengan sebutan Dayak, walaupun sudah tidak terbelakang serta terisolir lagi. Mereka ini juga tidak mempermasalahkan hal itu, sebab para ahli peneliti Antropologi kita juga menyebutkan suku-suku yang berada di pedalaman Kalimantan digolongkan dengan sebutan Dayak dan tidak ada yang menyebutkan dengan sebutan Daya.
Anggota masyarakat yang bertempat tinggal dibagian tengah pulau Kalimantan, tidak mempermasalahkan soal penulisan dengan sebutan Dayak atau Daya terhadap kelompok mereka. Dan yang terpenting menurut mereka adalah keberadaan kelompok mereka ditengah perkembangan negara kesatuan yang ada sekarang ini. Dibagian selatan dari pulau ini juga akan kita tampilkan kelompok atau anggota masyarakat yang menyebut diri mereka dengan bermacam-macam yakni suku Dayak atau Duson. Alasan mereka untuk menyebutkan nama-nama kelompok itu dengan sebutan suku yang dalam hal ini suku Banjar, karena masyarakat ini mulai pertama menerima kepercayaan Islam setelah kepercayaan Hindu Syiwa, karena pada abad XVI berdiri kerajaan Banjar setelah kerajaan Tanjung Negara yang beragama resmi Hindu Syiwa dengan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi yang dipakai dikerajaan Tanjung Negara. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari pada kerajaan Tanjung Negara. Sehingga semua penduduk yang bertempat tinggal diwilayah kerajaan Banjar dengan kepercayaan resmi Islam, tidak menyebutkan diri mereka dengan sebutan Dayak lagi akan tetapi menjadi sebutan Suku Banjar.
Karena suku ini banyak mengadakan komunikasi dengan orang-orang yang datang dari luar wilayahnya. Sedangkan bagi anggota masyarakat yang masih memegang kepercayaan diluar Islam, serta tinggal ditempat yang agak kepedalaman biasanya disebut Dayak atau Duson.
Kelompok ini masih dapat kita temukan sampai sekarang ini di wilayah Waruken, Halong, Mangkupum dan lain sebagainya. Kehidupan anggota masyarakat yang ada di wilayah tersebut diatas tadi, ada kesamaanya dengan anggota masyarakat suku Dayak Maanyan. Diwilayah Kalimantan Selatan ini pada zaman dahulu menurut kisah tutur kata orang Maanyan pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Nansarunai yang merupakan milik kerajaan suku Dayak Maanyan.
Akan tetapi setelah adanya asimilasi dengan orang-orang pendatang yang dalam hal ini suku Jawa, Madura, Bugis dan Melayu, mereka melahirkan generasi yang baru yang tidak lagi menyebutkan diri mereka dengan sebutan Dayak. Hal mana tidak menjadi permasalahan disini, sama dengan kelompok masyarakat yang ada di wilayah tengah pulau Kalimantan, dalam hal cara penulisan kelompok mereka.
Melihat penggolongan yang dilakukan oleh J. Mallinckrodt terhadap suku-suku yang ada di wilayah Kalimantan Tengah, khusus Stam ras Ot Danum yang mempunyai Stmmen Groep der Ot Danum, Stmmen Groep der Ngaju, Stmmen Groep der Ma'anyan, Lawangan dan Doesoen (Dusun) dalam bukunya ada trecht Van Borneo, 1928; halaman 21-27.
Dia mengatakan bahwa suku-suku yang terdapat diatas, beridentik dengan suku Ot Danum. Keterangan tersebut hanya sesuai dengan Stammen Groep der Ngaju yang mempunyai Stam ras Ot Danum lain halnya dengan suku Dayak Maanyan.
Karena semua hulu sungai yang terdapat diwilayah suku Ngaju berhulu didaerah pemukiman suku Ot Danum atau berasal dari pegunungan Schwanner. Sehingga penyebaran dari suku Ngaju kemungkinan besar melalui arus dari beberapa sungai yang ada didaerah ini. Dengan demikian suku Ngaju berasimilasi dengan penduduk yang bermukim ditepi sungai yang asalnya dari daerah pegunungan Schwanner sebagai tempat pemukiman tetap dari suku Ot Danum. Perihal yang mengatakan Stammen Groep der Ma'anyan, Lawangan dan Doesoen (Dusun) termasuk Ot Danum tidaklah tepat, karena tempat asal dari suku Dayak Maanyan dan suku yang lainnya itu, tidak dari semula berasal ditempat tinggal mereka yang ada sekarang ini. Melainkan berasal dari wilayah Kalimantan Selatan, khususnya pada aliran sungai Martapura dan sungai Tabalong, maupun pertemuan air dari sungai tersebut diatas. Sungai Martapura dan sungai Tabalong tidak berhulu diwilayah pegunungan Schwanner, melainkan berasal dari daerah kaki pegunungan Maeratus yang berada disebelah timur dari pegunungan dari pegunungan Schwanner.
Khusus mengenai Lawangan atau suku Dayak Lawangan, mereka banyak terdapat disepanjang sungai Karau, Paku'u, Awang dan sekitarnya. Akan tetapi kehidupan suku ini mendapat pengaruh dari beberapa suku, dalam hal ini adalah suku Dayak Maanyan, Tanjung dan Benuaq karena tempat mereka bermukim berdekatan. Lokasi pemukiman yang demikian membuat mereka terpengaruh secara langsung maupun tidak langsung kepada pola kehidupan orang-orang suku Dayak Maanyan.
Dilain pihak suku Lawangan mendapat pengaruh dari suku-suku yang berasal dari Kalimantan Timur, khusus suku Dayak Tanjung dan Benuaq. Kesamaan suku Dayak Lawangan dengan suku Dayak Tanjung dan Benuaq adalah dalam hal upacara keagamaan dan bahasa. Walaupun suku Dayak Lawangan ada kesamaannya dengan suku-suku yang disebutkan diatas tadi, akan tetapi suku ini lebih cenderung kepada suku Dayak Maanyan dalam hal sosial budaya. Penyebutan kepada kelompok anggota masyarakat yang menamakan diri mereka dengan sebutan Duson, hal ini bermula sejak berdirinya Kerajaan Banjar pada abad ke-16 sebutan itu dipengaruhi berdasarkan tempat tinggal serta komunikasi yang mereka gunakan, misalnya : Duson Pangelak, Bukit dan lainnya. Akan tetapi dari segi kepercayaan dan kebudayaan suku ini ada kesamaannya dengan suku Dayak Ma'anyan diwilayah Kalimantan Tengah yang secara khusus di daerah Kampung Sepuluh dan Banua Lima.
Dari segi bahasa suku Dayak Maanyan masuk kedalam kelompok Isolect Barito Tenggara, sedangkan bahasa Ot Danum Isolect Barito Barat Laut.
(buku bacaan : Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 1987, halaman 122. Dan suku Dayak Samihin di Kalimantan Tenggara yang mereka sebut dengan nama Dusun Tumma'ng)
J. Mallinckrodt dalam menentukan Stammen Groep dari Maanyan, Lawangan dan Duson yang masuk ke dalam Stam ras Ot Danum dikarenakan ia melihat dari segi upacara ritual yang dimiliki oleh anggota masyarakat tersebut diatas. Upacara ritual tersebut adalah upacara Ijambe yang dimiliki oleh masyarakat Paju Epat yang mempunyai kesamaan dengan upacara Tiwah milik anggota masyarakat suku Ngaju. Ia juga melihat upacara adat didaerah Kampung Sepuluh dan Banua Lima serta Lawangan yang tidak mempunyai kesamaan dengan upacara adat ritual dengan Tiwah misalnya.
Upacara tersebut adalah Miya, Ngadaton serta Wara. Ketiga jenis upacara adat tentang duka cita tersebut, sehingga dengan mudah digabungkan dengan stam ras tertentu. Hal demikian itu tidaklah tepat.
Dari segi sejarah Tradisional, yang kepunyaan suku Dayak Ngaju yaitu TETEK TATUM tidak pernah ketemu dengan dengan sejarah tradisional suku Dayak Maanyan yaitu TALIWAKAS. Walaupun demikian mereka sama-sama penduduk asli pulau Kalimantan, hanya saja suku Dayak Ngaju kemungkinan datang dari arah Utara sedangkan suku Dayak Maanyan dari arah Selatan pulau Kalimantan. Dan kedua suku ini dibatasi oleh sungai Barito.

Minggu, 10 Oktober 2010

DOA BAPA KAMI dalam Bahasa Maanyan

Ambah kami sa hang surga:
Hanyu Alatalla sa tungkan.
Hanyu sa nasambah nelang nahormat.
Hanyu Raja kami.
Wuah hanyu marentah hang ambau tane,
nelang kabahumennu ngalut nuu kala hang surga.
Ami ma kami hang anrau yiti kutaen sa na parlu daya kami.
Ampun kami teka kahalaen kami,
kala kami haut ngampun ulun sukat bakahalaen anri kami.
Ada maladar kami kawawaian kaparisayaan tawuk kami napurija,
kude sanepah kami teka kuasa sa jahat.
Hanyu Raja sa bakuasa nelang mulia hampe kalalawahni.
Amin.

Senin, 23 Agustus 2010

Sejarah Lahirnya Ijambe

Bahwa di Nansarunai (diperkirakan daerah Kalimantan Selatan) ada sebelas orang tokoh dan mereka ini mengadakan hubungan dengan daerah seberang.

Kesebelas tokoh tersebut adalah :

  1. Ambah Jarang/Datu Taturan Wulan bergelar Miharaja Papangkat Amas dengan istrinya Dara Gansa Tulen bergelar Suraibu Agung Pahur Langit. Putera mereka bernama Jarang, bergelar Dambung Lamuara Datu Gahanuluan.
  2. Ambah Idung/Datu Nuluh Wamban bergelar Miharaja Tinyau Laut dengan istrinya Dara Babar Wunrung bergelar Suraibu Dadamparan Manyang. Putera mereka bernama Idung bergelar Dambung Ilap Nyilu, Patis Payung Andrau.
  3. Datu Bias Layar bergelar Miharaja Tampi Dagang, dengan istrinya Dara Ngumpani Banang bergelar Suraibu Mubai Kapas. Putera mereka bernama Dambung Panding bergelar Raden Siak Gansa Purun.
  4. Datu Pantahala Langit bergelar Miharaja Kabeh Lalan Andrau, dengan istrinya bernama Dara Pansu Kasa bergelar Suraibu Turus Ranan. Putera mereka bernama Mantir Kaki bergelar Ratu Ngaluh Langit.
  5. Datu Garinsingan bergelar Miharaja Handak Lala dengan istrinya bernama Dara Pansu Amas bergelar Suraibu Wulan Tunyung. Putera mereka bernama Anyawungan bergelar Dambung Anya Gunung bergelar Ratu Guruh Langit.
  6. Datu sangan Langit bergelar Miharaja Tutuyan Andrau dengan istrinya bernama Dara Sundra Undru bergelar Suraibu Tumiasan Wulan. Putera mereka bernama Anggar bergelar Dambung Lampang Dinei bergelar Gandamean Sinsing.
  7. Datu Dauh Langit bergelar Miharaja Nantur Lalan Andrau dengan istrinya bernama Dara Lancir Ganda bergelar Suraibu Mangatekang lengan. Putera mereka bernamaPapak Ranggen Limbun bergelar Ratu Agung Mansing.
  8. Datu Papusuk Langit bergelar Miharaja Sungkul Lalan Andrau dengan istrinya bernama Dara Babar Wunge bergelar Suraibu Pangilewu Amas. Putera mereka bernama Dambung Bakas Maleh bergelar Ratu Nyalur Langit.
  9. Datu Mangkarean bergelar Miharaja Puput Wawun Tangun dengan istrinya bernama DaraPansu Lumiang bergelar Suraibu Wulan Lalung. Putera mereka bernama Dambung Bakas Maleh bergelar Punsu Raya Gunung.
  10. Datu Punyut Tulusan bergelar Miharaja Gunung Lansir dengan istrinya Apen Katurak Wawei bergelar Suraibu Ine Jawen Piutandrik. Putere mereka bernama Mantir Talengu bergelar Ganda Papan Wewei.
  11. Datu Masa Liau bergelar Miharaja Meru Ingkai, dia ini beristri dua :
  • Istri pertama ; Dara Tamuruk Unsu bergelar Diang Hamai Panuluan. Putera mereka bernama Dambung Tengki Maleh bergelar Ratu Guruh Raya.
  • Istri kedua ; Apen Piteng bergelar Wawei Mapait Nanam. Putera mereka bernama Dambung Kanurung bergelar Ratu Agung Meru.
Pada waktu itu ada seorang suami istri berdagang ke Nansarunai, dan pada waktu itu tepat musim kemarau panjang sehingga tidak bisa kembali keseberang sedangkan si istri terpaksa ditinggalkan sementara di Nansarunai.
Akibat dari kemarau panjang ini maka semua sungai dan sumur menjadi kering. Pada waktu itu ada seorang tokoh Nansarunai yang bernama Ambah Jarang mempunyai sebuah sumur dan hal ini tak seorangpun mengetahuinya. Tetapi si istri tuan Panayar (yang ditinggalkan suaminya keseberang) tersebut memelihara burung "Winsi" dan dia melihat setiap "Winsi" pulang selalu basah bulunya bekas mandi air. Sehingga berdasarkan petunjuk burung inilah maka si istri tuan Panayar mengikuti kemana saja burung itu terbang yang akhirnya sampailah ke sebuah sumur yang penuh dengan air yang jernih dan tenang.
Suatu ketika Ambah Jarang yang mempunyai sumur itu melihat ada wanita cantik yang mengambil air di sumurnya maka ditangkapnyalah si wanita itu lalu dijadikan istrinya.
Ketika suami (Tuan Panayar) datang dari seberang dengan maksud mengambil istrinya, tetapi dia terkejut karena istrinya sudah diambil ke Nansarunai dengan membawa serombongan orang-orang untuk menyerang tokoh-tokoh Nansarunai. Dan akhirnya ke-10 tokoh Nansarunai tewas semua yang kemudian peristiwa ini dikenal dengan nama Nansarunai Usak Jawa yang artinya Nansarunai diserang dari/oleh orang dari seberang.
Hanya satu orang yang bernama Datu Garinsingan bergelar Miharaja Handak Lala yang berhasil hidup dan bersama ke-12 putera ke daerah pegunungan. Ke-12 putera ini dikenal selaku 12 kesatria yang disebut "Pangundraun". Setelah ke-12 kesatriai ni cukup dewasa mereka kembali ke Nansarunai. Dan mereka merebutnya kembali.
Tetapi Nansarunai yang mereka rebut kembali itu sudah hancur, porak-poranda. Dari ke-12 kesatria ini yang menjadi sangat terkenal dan selalu terdapat dalam nyanyian para Hiyang wadian ialah Idung bergelar Dambung Ilep Nyilu, Patis Payung Andrau dan Jarang bergelar Dambung Lamuara, Ratu Gahanuluh dan Dambung Panding bergelar Raden Riak Gansa Purun. Dikalangan suku Dayak Maanya Paju IV yang bernama Dambung Panding bergelar Raden Riak Gansa Purun tidak diakui sebab dia kawin diseberang sewaktu mereka menuntut balas.
Setelah berhasil merebut kembali Nansarunai barulah orang mulai mengumpulkan tulang-tulang dari tokoh Nansarunai yang mati dalam pertempuran sewaktu Nansarunai Usak Jawa. Pada saat ini seorang tokoh adat yang disebut dengan Mawuntu mengatakan bahwa mayat atau kerangka tulang yang tidak mempunyai tengkorak tidak dapat di "Ijambekan", tetapi ada yang berpendapat bisa dilaksanakan Ijambe.
Dari peristiwa inilah lahir beberapa jenis upacara kematian suku dayak Maanyan. Sampai saat sekarang dikenal adalah Mi'a, dan Ngadaton pada suku dayak Maanyan Paju X dan Ijambe pada suku dayak Maanyan Paju IV. Dalam bahasa dayak Maanyan, Ijambe ini disebut dengan Gawe Baukangumbang Kungkanbaraus Gurun. Dan Mi'a atau Ngadaton disebut dengan Gawe Bakurung Kunsi, Kungkan Miaduh Dalam.

Peninggalan Purbakala Maanyan atau Peninggalan Kerajaan Nansarunai dan Majapahit didaerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan

Versi lengkapnya dari Peninggalan Purbakala Maanyan oleh Sutopo Ukip:

1.Di kota Banjarmasin terdapat peninggalan purbakala orang Ma'anyan :

  • a. Sebuah tonggak kayu yang dinamakan "Hujung Panti", gunanya ialah tempat orang Ma'anyan kuno memandikan anak untuk pertama kalinya disungai yang disebut Mubur Walenon. Tonggak kayu itu dipakai hingga abad ke-14, terletak disebelah barat laut kota Banjarmasin.

  • b. Di km 3, masuk sejauh 800 m kekiri jalan arah ke kota Martapura, terdapat sebuah tempat dinamakan Pangambangan. Pada daerah seluas 1 ha, terdapat permukaan tanah yang bersih, karena tidak terdapat satupun pepohonan yang bisa tumbuh. Diduga disitulah tempatpemukiman orang Ma'anyan yang pertama yang dipercaya oleh mereka, sebagai bekasbangunan Balai-Adat hingga abad ke-16.

2. Kebun buah-buahan yang dinamakan Pulau Banyar Kayutangi, tempat pemukiman orang Ma'anyan hingga awal abad ke-16. Disini masih terdapat tiang-tiang bekas rumah kuno, terbuat dari kayu besi yang masih tersisa sampai sekarang, terletak 24 km dari kota Banjarmasin ke arah lapangan terbang Syamsuddin Noor.

3. Tempat ditemukan Balontang dan makam kuno dari kayu besi terletak di Liang Anggang. Balontang dalam adat orang Ma'anyan adalah sebagai simbolis arwah orang sudah meninggal yang diadakan pesta adat secara sempurna.

4. Gunung Paramaton atau gunung Madu_manyan, tempat penyimpanan pusaka kerajaan Nansarunai, sesudah dapat dirampas kembali dari Tanjung Negara, atau Banjarmasin pada tahun 1362.

5. Di kota Martapura terdapat Balontang dan sumur kuno yang dinamakan sumur pahit, peninggalan orang Ma'anyan hingga abad ke-14. Sewaktu penggalian saluran pengairan dari waduk Riam Kanan ke arah Banjar Baru terdapat kuburan kuno orang Ma'anyan yang dipakai hingga abad ke-16.

6. Disuatu tempat didaerah Burung-Lapas; di km 24 dari Martapura ke arah Rantau, 150 m kanan jalan antara Martapura dan Binuang terdapat sebuah gua dan tanah yang sedikit ditumbuhi pepohonan. Diduga tempat itu adalah bekas pemukiman yang disebut Nansarunai hingga abad ke-13, dan belum mengenal pemerintahan raja. Sesudah Nansarunai dipindahkan ke Banua Lawas baru timbul pemerintahan dalam bentuk kerajaan serta lahirnya hukum adat yang dipakai oleh orang Ma'anyan hingga sekarang.

7. Daerah yang dinamakan pulau Kadap, yaitu tempat pemusatan prajurit-prajurit Nansarunai, sebelum perang Nansarunai kedua tahun 1362.

8. Di daerah Margasari, terdapat candai Laras tempat pemujaan agama Hindu Syiwa, dari kerajaan Daha dari abad ke-14, hingga abad ke-16. Disini terdapat juga sebuah patung batu, berupa ujud kepala babi sebagai prasasti yang dibuat oleh orang Ma'anyan tahun 1362.

9. Kota Negara, adalah tempat pemukiman bekas prajurit-prajurit Majapahit, terdiri dari orang Majaphit sendiri, orang Madura, orang Bugis dan orang-orang Nansarunai, setelah selesai perang Desember 1362, disini terdapat :
  • a. Para pandai besi yang ahli dalam pembuatan kapal-kapal serta peralatan rumah tangga lainnya.
  • b. Para ahli pembuat tembikar, kenong, gamelan dan gelang untuk tarian wadian Bawo dan wadian Dadas. Khusus untuk gamelan mereka buat memakai lima nada, yaitu do, re, mi sol dan la ialah nada-nada yang dipakai oleh orang Ma'anyan dalam musik.
  • c. Terdapat sebuah sumur kuno yang airnya berwarna merah, sebagai prasasti peristiwa perang Desember 1362.
10.Di kota Amuntai, terdapat candi Agung yaitu tempat pemujaan agama Hindu Syiwa pada abad ke-14 hingga abad ke-16 dan Tambak Wasi, yaitu tempat pembakaran mayat para prajurit korban perang Nansarunai pertama tahun 1358.

11. Bertempat di Banyu Hirang, diselatan kecamatan Danau Panggang terdapat :
  • Beberapa kuburan massal yang dinamakan Tambak yaitu tempat penguburan para prajurit Nansarunai dan Majapahit korban perang Desember 1362.
  • Pada tahun 1953, pernah ditemukan oleh penjala ikan yang bernama Abdullah Wahab sebuah tiang kapal tertimbun lumpur sedalam sekitar 1 m dari permukaan air. Jalannya tersangkut pada tiang kapal yang belum dia ketahui sejarahnya. Tempat ia menjala ikan tersebut yaitu sebuah danau yang dinamakan Telaga Silaba, di selatan Kabupaten Hulu Sungai Utara.
12. Di Pasar Arba atau Banua Lawas, adalah tempat kerajaan Nansarunai dari tahun 1309-1358, disini terdapat peninggalan kuno antara lain :
  • Makam raja Raden Anyan atau terkenal dalam sejarah tulisan orang Maanyan mereka sebut Am'mah Jarang. Terletak dibelakang masjid tua Banua Lawas.
  • Sumur Tua tempat Raden Anyan gugur ditumbak oleh Laksamana Nala tertutup lantai mesjid.
  • Pohon Kamboja besar-besar, sebanyak tujuh pohon, terletak di belakang mesjid tua tersebut, sebagai peringatan moksanya tujuh orang putera Raden Anyan yaitu; Jarang, Idong, Pan'ning, Engko, Engkai, Liban dan Bangkas.
  • Terdapat sebuah sumur tua sekitar 1 km arah barat kota kecamatan Banua Lawas yang disebut Sumur Am'mah Jarang, nama kecil Raja Raden Anyan,digunakan khusus bagi anggota keluarga kerajaan Nansarunai.
  • Kain Sindai yang terdapat didalam mesjid tua itu juga berasal dari tenunan India yang dibeli ketika perdagangan masih berlangsung dari Kalimantan Selatan hingga pulau Madagaskar dilepas pantai timur benua Afrika.
  • Benda kuno lainnya seperti piring celedon, gong, kenong, guci tempat pengawetan daging cara tradisional Maanyan yang disebut Wadi, gendang panjang yang dinamakan katammu'ng sudah diamankan oleh pihak kebudayaan setempat.
  • Di halaman masjid tua tersebut terdapat dua buah tempayan kuno yang dipakai untuk keperluan menyimpan air wudhu.
  • Terdapat sebuah Lewu Hiyang disebelah kanan serambi depan masjid. Lewu Hiyang tempat menaruh sesajen kepada roh para leluhur sewaktu pesta adat bontang.
13. Di danau Maunna'n adalah tempat penyimpanan pusaka kerajaan Nansarunai, berupa tiang sokoguru balai adat yang terbuat dari emas, patung emas berbentuk anak laki-laki dan perempuan yang sedang menari yang masing-masing bernama amas Bakukanrik amas Bakukanrau serta sebuah lesung emas. Terdapat pula sebuah prasasti dari kayu besi sebagai tanda atau peringatan penggabungan agama Hindu Syiwa dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang orang Maanyan.

14. Di sungai Banyu Landas dekat Pasar Panas, terdapat sebuah perahu kuno yang belum jelas siapa pemiliknya, apakah kepunyaan orang Nansarunai atau kepunyaan orang Majapahit

15. Di desa Bagok atau yang dahulu disebut Hadiwalang terdapat barang-barang kuno dari bahan pecah belah dibawa oleh pangeran Panni'ngatau Patih Raja Muda ketika selesai perang Nansarunai.

16. Di desa Jangkung terdapat barang kuno yang dibawa oleh Uria Pulang Giwa pada tahun 1358. Di desa ini terdapat banyak Balontang yang menandakan bahwa di desa ini dahulu pernah menjadi pemukiman orang Maanyan yang disebut dengan Maanyan Jangkung.

17. Dahulu dikampung Bentot, yang dahulu dinamakan Kayunringan terdapat sebuah perahu kuno yang dinamakan oleh penduduk setempat adalah perahu Nahkoda Jamuhala. Jamuhala adalah nahkoda kapal dagang Nansarunai yang gugur dalam perang Nansarunai pertama tahun 1358. Perahu tersebut diduga dapat meloloskan diri dari peperangan hingga terdampar dihulu sungai Patangkep.

18. Di desa Ja'ar terdapat beberapa buah peninggalan kuno antara lain :
  1. Sebuah perahu kuno yang terletak dihutan Mabeje, sekitar 4 km arah timur laut desa Ja'ar. Perahu kuno tersebut oleh penduduk Ja'ar dikatakan adalah kepunyaan saudagar Keling dari Majapahit yang menjual piring celedon, mangkok, boli-boli, dapur dari tembikar, tempat menanak nasi dari tembikar yang dinamakan oleh penduduk Kabali dan tempat menanak sayur, juga dari tembikar yang dinamakan Janga. Perahu itu kandas ketika terjadi gempa tektonik pada tahun 1379, yaitu 21 tahun sesudah perang Nansarunai pertama, tahun 1358.
  2. Terdapat sebuah batu besi yang dinamakan oleh penduduk Sangar-Jatang, kemungkinan adalah dupikat Wato-sekelika dari Madagaskar.
  3. Terdapat makam Puteri Mayang Sari yang dikeramatkan oleh penduduk karena puteri tersebut adalah puteri tunggal Sultan Suriansyah atau raja Mata Habang atau Panembahan Batu Habang yang ditugaskan oleh sultan untuk menjadi penguasa didaerah orang Maanyan.
19. Pada tahun 1987, di desa Haringen 3 km utara Tamianglayang, telah ditemukan barang-barang kuno berupa tembikar dan barang pecah belah lainnya yang merupakan warisan dari kerajaan Nansarunai yang dibawa oleh Patih Raja Panantang.

20. Di sungai Murutowo, terdapat sebuah perahu kuno yang dikatakan oleh penduduk setempat perahu Nahkoda Jamuhala.

21. Di desa Dayu terdapat sebuah gong besar yang dikatakan oleh penduduk setempat adalah peninggalan Puteri Junjung Buih ketika puteri tersebut datang untuk memberi petuah tentang adat untuk duka cita dan adat untuk suka cita pada masyarakat Kampung Sepuluh, dan Banua Lima pada pertengahan abad ke-16. Menurut legenda asal Puteri Junjung Buih timbul dari pusaran air di Tanjung Marabahan berupa anak perempuan kecil didalam perut dua gong yang ditangkupkan.

22. Dahulu sungai Ayuh terdapat tempat penyimpanan batangan emas kepunyaan kerajaan Nansarunai.

23. Di sungai Mukut dekat desa Jangkang 6 km arah timur Muarateweh terdapat sebuah perahu kuno terbuat dari tembaga lebar 40 cm dan panjang 100 m. Perahu tersebut kepunyaan pedagang cina yang salah masuk ketika menuju ke Nansarunai pada abad ke-14.

24. Dahulu sungai Toto atau Tabalong Kiwa terdapat sebuah perahu kuno disuatu tempat yang disebut penduduk setempat Man. Tempat itu adalah persembunyian Pangeran Jarang dan Idong sewaktu perang 1358.




Minggu, 22 Agustus 2010

Asal Mula Penyebutan Tamianglayang

Wilayah Tamianglayang dan sekitarnya merupakan tempat perladangan oleh anggota masyarakat, dari tiga wilayah yaitu :Patai, Murungkliwen dan Pimpingen atau Sangarasi. Anggota masyarakat dari ketiga wilayah tersebut diatas, yang pertama-tama bermukim didaerah Tamianglayang dan sekitarnya.
Anggota masyarakat yang bermukim didaerah Tamianglayang pada pertama kalinya hanyalah sebagai penunggu ladang atau kebun mereka dari serangan binatang liar. Karena terlalu lama didaerah ini, maka terjadilah perkampungan yang disebut oleh anggota masyarakat dengan Tumpungan. Walaupun sudah menjadi Tumpungan atau kampung, namun namanya masih belum ada.
Para pemukim hanya menggunakan nama-nama daerah dimana mereka bertempat tinggal, misalnya :Wawat, Amiwa'u,Watas, Telang Tampik, Khahutan, Ban'ma, Matajau dan sebagainya. Tempat pemukiman yang terdiri dari berbagai lokasi perladangan diatas, dikuasai oleh dua kelompok. Dibagian barat dikuasai oleh orang atau anggota masyarakat yang berasal daerah Patai dan Murungkliwen, yakni : Telang Tampik, Watas, Amiwa'u dan Matajau. Sedangkan diwilayah bagian timur dikuasai oleh anggota masyarakat yang berasal dari daerah Pimpingen (Sangarasi) serta Uwei. Mereka menempati daerah perladangan Pon'ning, Wawat dan sebagainya. Sehingga nenek moyang penduduk daerah Tamianglayang adalah gabungan dari wilayah yang telah disebut diatas.
Setelah diadakan penelitian dengan minta keterangan dari anggota masyarakat yang tua-tua, tentang asal usul nama Tamianglayang maka diperoleh keterangan bahwa nama berasal dari sebuah cerita rakyat yang menjadi suatu kenyataan.Mengenai pendapat anggota masyarakat tentang nama Tamianglayang ada dua argumentasi yang cukup kuat antara lain :
  1. Penyebutan nama Tamianglayang diambil dari nama seorang Dam'mong yang bernama Tamiang. Tempat asal Dam'mong tersebut tidak ada yang mengetahui secara pasti. Akan tetapi yang pasti Dam'mong itu mengalami kesesatan dalam usahanya mencari daerah Sangarasi, untuk melamar Puteri Mayang Sari. Waktu itu Puteri Mayang Sari sedang berkuasa di Sangarasi tahun 1604-1615. Akhirnya sampai juga ia ke Sangarasi tetapi sayang Puteri Mayang Sari telah lebih dahulu wafat. Kata "Layang" didepan Tamiang diambil dari bahasa Maanyan kuno yang berarti mengalami kesesatan dalam usahanya mencari daerah atau wilayah yang telah ditentukan sebelumnya. Daerah atau wilayah dimana Dam'mong tersebut mengalami kesesatan lalu disebut oleh anggota masyarakat menjadi Tamianglayang.
  2. Penyebutan nama Tamianglayang yang diambil dari nama sejenis pohon bambu yang berdiameter sekitar 2 cm, dengan panjang ruas sekitar 80 cm. Menurut mitologi keampuhan dari bambu tersebut, mampu mencabut nyawa dari illah yang menguasai di angkasa yang disebut oleh anggota masyarakat yaitu Illah Nanyu. Mitologi itu selanjutnya mengatakan bahwa illah yang bernama Nanyu Manolon berkelahi dengan seorang penduduk yang bernama Amang Mahai. Dalam perkelahian itu Amang Mahai dapat menikam bambu tersebut keleher nanyu Manolon yang mengakibatkan kematiannya. Sedangkan kata "Layang" memberikan keterangan atau memberitahukan bahwa nyawa illah itu sudah tidak ada lagi atau sudah meninggal. Tempat kejadian dimana terjadi peristiwa pembunuhan Nanyu Manolon, yang ditewaskan oleh Amang Mahai adalah termasuk wilayah Hadiwalang atau Bagok. Amang Mahai melakukan pembunuhan terhadap illah tersebut, setelah diketahui bahwa illah itu telah memporakporandakan sebuah kampung bernama Ete'en dan Gapijar, dimana Amang Mahai bertempat tinggal. Karena keampuhan bambu tersebut, maka nama bambu tersebut diabadikan oelh anggota masyarakat untuk nama kampung atau tumpuk yang baru itu dengan nama Tamianglayang.
Ada pendapat lain bahwa kata "layang " didepan kata Tamiang berasal dari kata melayang-layang. Suku kata layang sudah mendapat pengaruh dari bahasa melayu.
Penyebutan Tamianglayang, untuk menggantikan nama dari berbagai lokasi diatas, terjadi kira-kira awal abad ke-17. Setelah secara resmi disebut dengan nama Tamianglayang, maka nama seperti Wawat, Khahutan dan lain sebagainya tidak dipergunakan lagi. Setelah berdirinya Landschaap Sihong, maka daerah Patai dan daerah Tamianglayang termasuk didalam wilayah dari Landschaap Sihong. Missi Zending masuk daerah Tamianglayang pada tahun 1857, setelah lebih dahulu masuk daerah Murutowo pada tahun 1851. Dengan masuknya Missi, mulailah ada kemajuan atau perkembangan didaerah ini sebab didaerah Watas diberikan sebidang tanah untuk keperluan tersebut.
Demikianlah daerah Tamianglayang mulai berkembang dengan adanya Missi Zending, yang berkedudukan didaerah Watas. Sehingga Tamianglayang merupakan pusat pengaturan segala kegiatan Missi Zending untuk wilayah ini. Sebuah pemukiman baru atau kampung mula-mula merupakan daerah perladangan yang akhirnya mendapat sebutan Tamianglayang, yang secara resmi pada awal abd ke-17. Daerah atau wilayah Tamianglayang secara berurutan dikuasai oleh sejumlah 16 Dam'mong yang menjadi panutan anggota masyarakatnya.
Pada masa kekuasaan para pemimpin didaerah Sangarasi, daerah Tamianglayang dan sekitarnya secara tidak langsung menjadi wilayah kekuasaan dari Sangarasi. Demikian juga setelah berdirinya Landschaap Sihong, maka wilayah Tamianglayang merupakan daerah kekuasaan dari pada penguasa Sihong yaitu Suto Ono Sutanegara.
Setelah kita mempelajari asal mulanya berdirinya daerah Tamianglayang yang telah diutarakan tadi, maka terlihat ada 16 Dam'mong yang pernah memimpin anggota masyarakat didaerah ini semenjak resmi berdirinya sebagai sebuah kampung.
Dengan demikian daerah Tamianglayang jelas tidak menjadi tujuan anggota masyarakat, setelah Nansarunai Usak Jawa pada tahun 1358 dan tahun 1362. Maka wajarlah kalau nama Tamianglayang tidak disinggung sama sekali didalam penyebutan daerah yang masuk urutan Kampung X, Banua V dan Paju IV. Sebab Tamianglayang merupakan wilayah yang baru berdiri beberapa ratus tahun sesudah Nansarunai Usak Jawa.
Anggota masyarakat setempat secara sadar maupun tidak telah menyebutkan bahwa Tamianglayang dan sekitarnya adalah wilayah apa yang disebut dengan Garuda Maharam. Tidak seorangpun yang mengetahui secara pasti, sebab apa daerah ini disebut dengan Garuda Maharam. Keterangan yang dikumpul oleh penulis alasan untuk menguatkan istilah tersebut antara lain :
  1. Wilayah ini memberikan rasa aman dan damai bagi semua penduduk yang bermukim didaerah ini, bila dibandingkan dengan keadaan wilayah yang ada ditempat lain.
  2. Tingkat kesejahteraan yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya cukup memuaskan.
  3. Toleransi antar sesama anggota masyarakatnya cukup tinggi dengan apa yang disebut Pangundraun Iram.
  4. Banyak anggota masyarakat dari daerah lain yang tertarik untuk berdomisili didaerah ini.
Keempat alasan tersebut diatas, merupakan dasar yang menguatkan mengapa wilayah Tamianglayang dan sekitarnya selalu disebut Garuda Maharam. Mungkin wilayah inilah yang disebut oleh orang-orang secara umum yaitu tanah yang berbau harum dengan airnya yang bening serta bersih. Karena keadaan daerah serta tanahnya yang demikian, merupakan tempat yang sesuai untuk melakukan penghidupan dan kehidupan penduduknya. Dengan demikian anggota masyarakat yang berdomisili didaerah Tamianglayang lebih heterogen sifatnya, bila dibandingkan dengan wilayah yang lain yang ada di Barito Timur.
Hal itu disebabkan Tamianglayang mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Dilihat dari segi kekayaan alam jelas tidak banyak memberikan kesejahteraan kepada anggota masyarkat kalau dibandingkan dengan daerah lain yang banyak sumber alamnya. Walupun keadaan alam didaerah Tamianglayang tidak begitu subur, namun banyak anggota masyarakat lebih tertarik untuk bermukim didaerah ini. Disinilah daya tarik kota Tamianglayang sangat spesifik dari daerah lainnya yang ada di Barito Timur.

Nama Dam'mong yang selalu menjadi panutan oleh masyarakat secara umum didaerah Barito Timur adalah sebagai berikut ;
  1. Tamianglayang; Dam'mong Tamiang
  2. Sarapat; Dam'mong Jaya Kutai
  3. Harara; Dam'mong Luput
  4. Patai; Patih Rindu Tuha
  5. Karanglangit; Patih Raja Panantang
  6. Telang; Pating'ngi Baris
  7. Siong; Patih Damang Garit
  8. Balawa; Patih Jaksa Tuha
  9. Murutowo; Patih Akir
  10. Dayu; Pating'ngi Raja
  11. Paku; Patih Sari Kampung
  12. Patung; Patih Singasari
  13. Rodok; Patih Kakah Dayan
  14. Tampa; Patih Dam'mong Tani
  15. Karau; Tumenggung Guntom
  16. Bawo; Kakah Gulang
  17. Tutui; Tumenggung Singa Langit
  18. Jangkung; Uria Pulang Giwa
  19. Waruken; Patih Nawa Raha
  20. Hadiwalang; Pahulu Marak
  21. Uwei; Patih Uwei
  22. Kayunringan; Patih Banta
  23. Angam; Patih Talam
  24. Sangarasi; Dam'mung Halang
  25. Ja'ar; Pating'ngi Aris


Taliwakas

Anggota masyarakat Maanyan dalam kehidupan sehari-hari segala kegiatan diatur oleh bermacam-macam adat istiadat serta kebiasaan yang ada berkembang didalam kehidupan anggotanya. Adat istiadat dan kebiasaan itu menjaga anggota masyarakat dari segala macam hal yang tidak diinginkan.
Tata aturan tersebut diatas yang melingkari kehidupan dan penghidupan anggota masyarakat secara umum untuk dapat mencapai tingkat kesejahteraan lahir maupun batin. Salah satu dari adat istiadat tersebut yang dimiliki oleh anggota masyarakat maanyan adalah Taliwakas. Taliwakas itu menurut pendapat antropologi Amerika yang mengadakan peneletian adat masyarakat Maanyan pada tahun 1963 yang bernama AB Hudson adalah sebagai Traditional History.
Sedangkan pengertian dari Taliwakas adalah merupakan nasehat yang ditujukan pada sepasang pengantin yang akan memulai menata kehidupan sebuah rumah tangga yang baru. Nasehat yang diberikan tersebut menggunakan bahasa pangundraun yang memiliki nilai sastra yang sempurna sifatnya. Taliwakas merupakan nasehat yang isinya merupakan petunjuk yang mesti dilakukan dalam ruang lingkup kehidupan rumah tangga.
Setiap tantangan dan halangan mesti diselesaikan dengan penuh kesabaran, keuletan dan ketabahan serta penuh pengertian dalam kasih sayang diantara kedua belah pihak. Disamping Taliwakas ada juga kita jumpai yang sama dengan Taliwakas, yang disebut oleh anggota masyarakat dengan sebutan Wawaling. Pengertian Wawaling sama dengan Taliwakas yang merupakan nasehat yang ditujukan kepada semua orang dalam sebuah perkumpulan yang tidak hanya ditujukan pada acara perkawinan. Akan tetapi bisa juga digunakan pada acara perbaikan atau perdamaian (ikaeh) antara salah seorang keluarga yang berselisih dengan anggota keluarga yang lain.
Pada akhir dari acara Ikaeh tersebut, ditutup dengan wawaling yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang cukup mempunyai kharisma. Taliwakas dan Wawaling tidak harus oleh seorang mantir, akan tetapi juga oleh anggota masyarakat biasa. Dan yang terpenting, kita semua simak arti dan maksud dari diucapkan berupa petuah serta petunjuk kepada semua yang hadir. Wawaling ada berkaitan dengan adat istiadat tentang penyucian kampung atau desa dari segala hal yang tidak diinginkan oleh warganya.
Pengertian Wawaling lebih banyak penekanannya pada acara penyucian atau pemulihan dari segala hal yang tidak baik yang lebih terkenal dengan sebutan Ngawaling Ngawawilah Tumpuk Natat Tane Ranu Teka Gunting Gin'nah Hampan Ta'u Mulek Kalamula. Sedangkan Taliwakas penekanannya pada segi perkawinan karena ia berupa nasehat yang dialamatkan pada sepasang pengantin yang akan memasuki kehidupan berumah tangga.
Disamping Taliwakas, Wawaling ada lagi nasehat yang dimiliki oleh masyarakat Maanyan yang dilakukan pada sebuah perkawinan yang disebut dengan Turus Tajak. Pengertian dari Turus Tajak adalah berupa doa yang ditujukan kepada sepasang mempelai oleh orang yang memberikan sumbangan pernikahan. Turus Tajak biasa dilambangkan dengan pemberian materi yang bisa berupa uang. Akan tetapi dalam hal ini jangan dilihat berapa nilai yang diberikan akan tetapi maksud doa yang diberikan oleh si penyumbang yang melebihi materi yang diberikannya. Penutupan dari sebuah perkawinan, diakhiri oleh Nangis Turus, Nangis Turus merupakan penutupan rangkaian perkawinan yang mencakup dengan Taliwakas, Wawaling dan Turus Tajak.
Dalam konteks diatas itu merupakan keharusan dalam sebuah perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Maanyan, sebab sebuah perkawinan merupakan hal yang baik sebab akan meneruskan keturunan dari pewaris dari adat istiadat mereka.
Seperti yang pernah diutarakan pada bagian terdahulu, masyarakat Maanyan menilai bahwa perkawinan hanya sekali didalam kehidupan mereka. Apabila seseorang sering melakukan perkawinan didalam kehidupannya, maka ia dianggap oleh anggota keluarga secara umum kurang bertanggung jawab terhadap anggota keluarga dan masyarakat serta adat istiadat yang ada. Demikian juga melanggar bunyi Taliwakas, Wawaling serta Turus Tajak yang telah diberikan oleh anggota keluarga akan mendapat kehidupan yang kurang baik.
Dalam bagian lain akan dibicarakan bagian struktur masayarakat Maanyan mengenai gelar yang dimiliki oleh anggota keluarga masyarakat Maanyan secara umum. Akan tetapi mengenai klasifikasi masyarakat Maanyan secara umum belum dibicarakan. Klasifikasi masyarakat ini, dikenal dengan sebutan Utus, Putak dan Walah. Akan tetapi klasifikasi sosial yang terdapat didalam kehidupan anggota masyarakat tidak begitu jelas terlihat perbedaan sosialnya didalam pergaulan serta kehidupan sehari-hari.
Perbedaan itu baru terlihat dengan nyata, apabila ada suatu upacara ritual yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara umum. Mengapa perbedaan status sosial terlihat dalam upacara ritual, hal ini disebabkan pada bagian yangtertentu orang atau anggota yang memiliki klasifikasinya rendah tidak diperbolehkan melakukan aktifitasnya, karena aktifitas tersebut diperuntukkan bagi anggota yang mempunyai klasifikasi yang berada disatu tingkat diatas mereka. Demikian juga ada aktifitas yang dikhususkan bagi masyarakat yang tidak diperkenankan dilakukan oleh anggota masyarakat dari status yang lebih tinggi sifatnya.
Setelah upacara ritual itu selesai, maka perbedaan sosial tersebut tidak nampak lagi, sehingga semua anggota masyarakat menjadi bersatu lagi untuk melakukan aktivitasnya sebagaimana biasa yang mereka lakukan sehari-hari. Perbedaan status sosial terlihat jelas pada upacara ritual didaerah Paju Epat dan Lasi Muda atau Dayu. Mengapa perbedaan terlihat jelas dikedua tempat tersebut diatas, kalau dibandingakan dengan daerah Kampung Sepuluh dan Banua Lima. Hal ini dikarenakan upacara ritual yang anggota masyarakat dikedua tempat itu bersifat kolektif atau bersama. Sedangkan upacara ritual untuk wilayah Kampung Sepuluh dan Banua Lima bersifat Individual. Disinilah letak perbedaannya.
Masyarakat didaerah Lasi Muda dan sekitarnya menyebutkan status sosial yang ada dalam masyarakat dengan sebutan Putak. Anggota masyarakat didaerah Paju Epat menyebut perbedaan sosial itu dengan istilah Walah dan bagi masyarakat Kampung Sepuluh dan Banua Lima sekitarnya menamakan perbedaan sosial tersebut dengan kata Utus.
Dalam kehidupan masyarakat Maanyan klasifikasi sosial yang ada dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan status sosial antara lain :
  1. Kelompok masyarakat mempunyai Utus Am'mau
  2. Kelompok masyarakat mempunyai Utus Im'me
Masyarakat yang termasuk Utus Am'mau atau berstatus tinggi biasanya bedasarkan keturunan yang mempunyai gelar Dam'mong, Pating'ngi dan lain sebaginya. Dalam kelompok tersebut diatas, juga termasuk keturunan dari pada penguasa wilayah ata daerah yang sanggup mengayomi anggota masyarakat secara baik dan benar. Kelompok Utus Im'me, biasanya terdiri dari anggota masyarakat biasa yang tidak mempunyai gelar dan kedudukan didalam lingkungan masyarakat secara umum.
Walaupun ada perbedaan status sosial yang ada didalam kelompok masyarakat akan tetapi tidak pernah terjadi perselisihan diantara kedua kelompok tersebut. Hal ini disebabkan tidak ada perbedaan yang nyata didalam tata pergaulan masyarakat sehari-hari, tidak ada perbedaan sosial dalam segala hal. Akan tetapi semua hak dan kewajiban adalah sama untuk melakukan saling bantu, saling tolong yang termaktub dalam istilah Pangundraun Iram.
Karena memiliki istilah Pangundraun Iram itulah yang dapat menyelamatkan perbedaan sosial anggota masyarakat Maanyan dari rasa perselisihan. Didalam kehidupan dan penghidupan anggota masyarakat Maanyan ada jenis upacara untuk menaikkan derajat seseorang dari status yang rendah kepada status yang tinggi, kalau orang itu menduduki sesuatu jabatan yang ada didalam instansi yang mengayomi anggota masyarakat. Upacara tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan seorang wadian dengan sesajen lengkap serta disaksikan oleh para Mantir dan anggota masyarakat lainnya. Upacara tersebut disebut dengan istilah Ngan'nak Langka atau juga boleh disebut juga Nindrik Langka. Biasanya upacara demikian itu hanya dilakukan untuk seorang pemimpin dari anggota masyarakat, yang status sosialnya rendah. Kegunaan dari upacara itu adalah agar didalam melakukan tugasnya sehari-hari sebagai seorang pemimpin tidak mendapat halangan atau rintangan. Selama menjalankan tugas kepemimpinan itu mengalami perasaan damai, aman serta dapat meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakt yang dipimpinnya.
Walaupun telah dilakukan upacara tersebut diatas, tidak banyak menolong seseorang mempunyai status sosial yang rendah untuk dapat keluar dari masalah yang ia hadapi selaku seorang pemimpin. Kelihatannya secara umum yang boleh memegang jabatan di dalam wilayah anggota masyarakat Maanyan adalah mereka dari status sosial yang tinggi. Pengalaman menunjukkan bahwa kenyataan demikian ada kebenaran dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Tidak ada orang yang mengetahui secara pasti mengapa hal tersebut bisa terjadi. Ada pendapat bahwa Utus Im'me tidak memiliki kharisma atau Pang'iwuruh yang terdapat dalam dirinya sebagai seorang pemimpin yang diwariskan dari pada ayah atau keluarga mereka.
Menurut legenda masyarakat Maanyan perbedaan status yang ada didalam kehidupan dan penghidupan anggota masyarakat Maanyan, tidak bisa dihapuskan walaupun dengan asimilasi perkawinan dari dua status tersebut. Bila perkawinan itu diadakan maka akan membawa kepada perceraian, serta kehidupan rumah tangga tidak terlalu harmonis sifatnya. Oleh sebab itu jarang sekali terjadi perkawinan dari status sosial yang berbeda, karena akan berakhir dengan yang tidak diinginkan dalam sebuah perkawinan.
Memang tidak ada penelitian secara teliti yang mengatakan ciri anggota masyarakat yang memiliki Utus Im'me dengan sifat yang berbeda dengan Utus Am'mau. Akan tetapi dari segi-segi yang tertentu seseorang mempunyai status yang rendah, dengan ciri-ciri yang biasa terlihat apabila mereka melakukan sesuatu kegiatan antara lain :
  • Apabila mereka membersihkan daun (pelapah keladi) selalu dengan cara pemotongan yang pendek serta rata dan bukan miring.
  • Mimik muka (raut muka) selalu kelihatan pucat (musuk pamulu) apabila mengikuti pertemuan yang ada didaerahnya.
  • Tidak memiliki kharisma (pangiruwuh, nanyu dan sebagainya).
  • Kalau diangkat menjadi seorang pemimpin sering mengalami hal-hal yang tidak mendukung cara kepemimpinannya.
keempat ciri-ciri tersebut diatas tidak berdasarkan penelitian akan tetapi pendapat yang berkembang dalam masyarakat sejak dulu sehingga sekarang ini dan menjadi bukti untuk memperkuat keadaan dari kelompok mereka. Sedangkan bukti dari anggota masyarakat yang memiliki Utus Am'mau adalah kebalikan dari ciri-ciri yang telah diutarakan diatas.
Setelah Missi Zending masuk dengan membawa kepercayaan yang baru kepada anggota masyarakat serta kepercayaan itu diterima oleh anggota masyarakat dengan senang hati, sehingga perbedaan seperti yang diutarakan diatas itu, lenyap dari pemikiran masyarakat.

Hukum Adat Untuk Dukacita Atau Hukum Adat Tiba Matei

Kepercayaan masyarakat orang Maanyan zaman Nansarunai adalah Animis, kepercayaan ini lebih dikenal dengan sebutan agama dahulu, sebutan ini sampai pada tahun 1955. Setelah tahun 1955 pemerintah mengeluarkan satu ketentuan untuk menyebutkan anggota masyarakat yang belum memeluk agama Kristen maupun Islam khusus untuk wilayah Maanyan dan Lawangan disebut Kaharingan. Masyarakat Maanyan dan Lawangan tidak mengerti darimana asal sebutan itu. Anggota masyarakat di daerah Maanyan tidak mengenal agama Kristen akan tetapi lebih mengenal dengan sebutan agama wau. Sedangkan untuk menyebut kepercayaan mereka sendiri lebih dikenal dengan sebutan agama dahulu. Kepercayaan ini masih dapat kita temukan sampai sekarang, walaupun sekarang ini berubah menjadi Hindu Kaharingan.
Pada dasarnya kepercayaan ini adalah percaya apabila seseorang yang telah meninggal dunia pasti masuk Dato Tonyong Gahamari dengan satu persyaratan adanya suatu upacara adat kematian walaupun sangat sederhana sifatnya yaitu Pakan Tulakan tanpa mengorbankan seekor binatang, akan tetapi ditular atau diadakan upacara oleh wadian matei dengan mengucapkan kata-kata petunjuk jalan ke Dato Tonyong Gahamari dengan istilah Diki Hoyong sebagaimana mestinya. Yang menjadikan dasar bahwa arwah tersebut masuk ke Dato Tonyong Gahamari adalah Diki Hoyong atau mantra yang disertai dengan lemparan beras dilanjutkan dengan ayunan pisau tua yang ditulis dengan kapur sirih pada pisau tersebut yang dinamai Luwuk. Kegunaan dari benda ini adalah merupakan penuntun arah kepada arwah yang telah meninggal ketempat yang telah ditentukan.
Ada beberapa macam upacara adat yang berkaitan dengan duka cita yang dimiliki oleh anggota masyarakat didaerah ini antara lain :
  1. Pasar Bajang, sebenarnya tidak ada upacara yang dilakukan oleh wadian, sebab pada waktu lahir langsung meninggal. Boleh dilakukan Pasar Bajang apabila baru meninggal itu berusia kurang dari 3 (tiga) bulan. Pelaksanaan Pasar Bajang, yaitu jenazah dikuburkan dicelah akar pohon kayu besar.
  2. Pakan Tulakan, adalah upacara adat tentang duka cita yang paling sederhana sifatnya yang dimiliki oleh masyarakat Maanyan dengan tanpa mengorbankan seekor binatang akan tetapi dilakukan upacara adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  3. Jenis upacara yang ke-3 mempunyai dua kemungkinan yaitu: Pakan Handrueh Tanan Rapu atau Pakan Handrueh Nyingkap Tim'muk kedua upacara ini lebih sempurna dari kedua upacara mengenai duka cita karena adanya binatang korban seperti babi, ayam dan lain sebagainya. Serta ada juga kemungkinan diselenggarakan upacara Miya, bila keadaan memungkinkan dari segi kemampuan keluarga yang meninggal.
  4. Miya atau lebih dikenal dengan sebutan Miya Misaya, upacara ini memakan waktu 3 hari serta 3 malam. Akan tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan waktu 4 hari 3 malam. Tujuh hari sebelumnya upacara Miya, dilakukan kegiatan mendirikan sebuah bangunan yang sangat sederhana sifatnya yaitu tempat memasak untuk keperluan Miya yang disebut Gagulang. Bangunan tersebut berada disamping rumah kearah belakang, letak bangunan ini tidak menjadi masalah yang penting terletak disamping tempat orang yang melakukan upacara Miya. Upacara Miya juga boleh mengorbankan seekor kerbau yang biasa disebut Miya Munu Kerewau. Upacara ini memakan waktu 5 hari 4 malam, biasanya ada sebuah patung dengan wajah orang yang sudah meninggal dibuat Balontang sebagai tempat untuk mengorbankan kerbau. Upacara Miya tanpa mengorbankan kerbau disebut Miya Telo Malem. Pada hari pertama upacara Miya disebut Andrau Tarawen, pada kesempatan ini kegiatan banyak terpusat pada pembuatan Puja (membuat benda-benda mirip binatang yang terbuat dari daun kelapa dan daun enau) yang diberi warna warni. Apabila sudah selesai pembuatan Puja tersebut kemudian digantungkan di Galantang (menyerupai rumah kecil). Pada Andrau Tarawen dibuat juga tempat memasang gong yang namanya juga Galantang yakni tempat Nabuh (nabuh gong), bunyi yang dikeluarkan cukup berirama sebagai tanda Miya telah dimulai.Mengorbankan seekor babi dengan beberap ekor ayam sebagai syarat dimulainya Andrau Tarawen, orang-orang yang mengatur tata cara yang berhubungan dengan kegiatan Miya disebut Pisambe Wadian. Wadian Matei yang melakukan kegiatan ini terdiri dari beberapa orang, pada malam pertama dan seterusnya sampi malam terakhir (Malam Nampatei) diadakan Tarung dan Nyunang. Sebelum dimulai Tarung dan Nyunang, biasanya didahului dengan minum tuak yang kadar alkoholnya rendah, secara bersama-sama dipimpin oleh seorang pembawa acara yang disebut Anak Tangganyungan. Setelah minum tuak selesai baru diadakan pemilihan untuk acara Narung yang berasal dari keluarga yang melakukan upacara Miya yang leboh dikenal dengan sebutan Ulun Putut Lewu. Pemilihan untuk Narung dilakukan dengan cara yang sangat demokrasi serta kekeluargan sifatnya. Dalam acara Narung tersebut dikisahkan mengenai keadaan kehidupan serta penghidupan orang yang melakukan upacara ini, dengan menggunakan kata-kata yang sangat halus serta mempunyai nilai sastra yang tinggi mutunya. Pada kesempatan ini banyak orang terharu mendengar kata-kata yang diutarakan ditengah duka cita seperti ini. Demikian juga Nyunang lebih seru lagi dari pada narung, karena merupakan satu balasan yang kata-kata yang diutarakan oleh yang melakukan narung. hari yang kedua disebut Gelanggang tempat mengadu ayam jago yang disebut Manguntur. Pada hari yang kedua ini juga mengorbankan seekor binatang (babi) dengan beberapa ekor ayam sebagai sesajen kepada arwah yang meninggal. Pada malam hari acara narung dan Nyunang, biasanya dari luar lingkungan keluarga yang datang hendak menyaksikan adu jago, akan tetapi bisa diwakili oleh pihak keluarga dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Pada hari yang ke-3 disebut Andrau Irupak, kegiatan pada hari ini adalah mengadu ayam jago dimanguntur dengan menggunakan pisau kecil yang disebut dengan istilah Taji. Pada hari yang terakhir dari kegiatan Miya adalah Nantak Syukur artinya selam 3 tahun mereka harus mengingatkan arawah yang meninggal itu dengan cara mengantar sesajen ke makam yang disebut Nuang Panuk. Setelah 49 hari terhitung dari hari Nantak Syukur, ada lagi upacara yang bernama Siwah, dimana pada malam harinya diadakan kegiatan tari giring-giring yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara bersama-sama.
  5. Ngadaton adalah upacara adat tentang duka cita yang paling tinggi nilainya dan sempurna diantara tata aturan dibandingkan upacara duka cita yang dimiliki oleh anggota masyarakat Maanyan. Upacara ini jarang sekali dilakukan oleh anggota masayarakat karena memerlukan biaya yang cukup banyak. Pada dasarnya makam tempat mengubur jasad orang dilakukan dengan upacara Ngadaton. Upacara ini dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan upacara Miya. Hanya sedikit perbedaannya yaitu dari segi lamanya waktu penyelenggaraan upacara tersebut.
  • Dalam upacara Ngadaton ini dapat dibagi menjadi dua bagian antara lain :
  1. Ngadaton Patei Iwek (upacara Ngadaton memotong babi) disebut upacara Ngadaton Bujang.
  2. Ngadaton Patei Kerewau (upacara Ngadaton memotong kerbau) disebut upacara Ngadaton Jari.
Pada dasarnya kedua jenis upacara ngadaton tersebut diatas adalah tidak berbeda. Hanya perbedannya adalah dari segi pemotongan kurban sebagai persembahannya.
Kalau yang pertama hanya memotong binatang untuk persembahan babi yang berjumlah 6 (enam) ekor selama upacara berlangsung, sedangkan kalau pada upacara Ngadaton yang kedua menjadi kurban persembahannya adalah kerbau. Kerbau ini dikurbankan pada hari keempat.
Urutan hari-hari dalam penyelenggaraan upacara Ngadaton adalah sebagai berikut :
Hari pertama disebut Andrau Tarawen.
Hari kedua disebut Andrau Irumpak, yang kegiatannya tidak ada beda dengan kegiatan pada acara Miya.
Hari ketiga disebut Andrau Nyurat. Dalam acara ini kegiatan banyak berfokus pada pembuatan relief pada peti mati. Relief yang dipahat atau digambar pada peti mati tersebut menceritakan bagaimana kehidupan orang yang telah meninggal dan kehidupan nantinya di Dato Tonyong Gahamari yang serba menyenangkan . Pada hari yang ketiga tersebut terkenal dengan sebutan Andrau Nyurat Papan Binulantan (rarung). Pada acara Nyurat diperlihatkan motif seni pahat yang paling tinggi mutunya yang dimiliki atau yang ada pada masyarakat Maanyan.
Hari keempat disebut andrau Irapat, pada acara ini kegiatan ada dua bagian yang terpenting yakni acara mengadu ayam dan memotong kerbau. Pada acara memotong kerbau dilakukan dengan cara menombaknya terlebih dahulu, sma dilakukan pada acara Miya. Setelah selesai ditombak kerbau tersebut kemudian disembelih diatas sebuah lesung. Karena legenda masyarakat Maanyan secara umum binatang kerbau berasal dari seorang gadis yang tertidur pada sebuah lesung dan berubah menjadi seekor kerbau. Makatiap kali memotong kerbau harus dibaringkan pada sebuah lesung.
Setelah kerbau itu dipotong maka tubuh binatang itu ditutupi dengan kain yang disebut Sin'nai serta ditangisi oleh beberapa orang yang disebut oleh orang Maayan Nangis atau meratap.
Pada hari yang keempat inilah ada seorang yang disebut Liyo atau Dalam Liyo. Orang tersebut melakukan kegiatn meinta-minta dan kepada pengunjung acara buntang diberi tahu bahwa hari tersebut ada orang selalu eminta-minta samapai binatang pengorbanan sudah dipotong baru Dalam Liyo berhenti melakukan tugasnya. Hasil dari Dalam Liyo tersebut diberikan kepada wadian yang melakukan upacara, dan wadian yang melakukan upacara Ngadaton adalah wadian matei yang sama digunakan pada waktu Miya. Hari terakhir dari upacara Ngadaton adalah Andrau Nantak Syukur, hal ini sama juga pengertiannya dengan Nantak Syukur pada acara Miya, seperti yang telah diterangkan pada bagian sebelumnya. Pada waktu mengubur jasad orang yang dilakukan upacara adat Ngadaton ini ada yang disebut Kawalik. Kawalik tersebut merupakan pelayan bagi roh orang yang meninggal sampai di Dato Tonyong Gahamari nantinya. Pada setiap malam harinya selama acara Ngadaton berlangsung dilakukan juga acara Tarung Nyunang, yang sama seperti Miya. Demikian selam tiga tahun berturut-turut dilakukan acara dengan apa yang disebut Nuang Panuk. Pada tahun yang ketiga atau tahun penutup dilakukan acara dengan apa yang bersamaan Nuang Panuk pada pagi harinya, dan diteruskan daengan acara Miempu sebagai ucapan terima kasih kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi yang selalu memberikan rejeki dan kemudahan dalam tahun-tahun yang sudah dilalui tersebut.
Dalam tahun yang terakhir ini jarang sekali kita semua jumpai anggota masyarakat melakukan upacara ini. Hal ini dikarenakan biaya yang mahal dan segala peraturan untuk melakukan hal tersebut sangata sulit untuk dipenuhi. Selain itu juga jumlah penganut dari kepercayaan ini semakin menipis, dipengaruhi oleh kepercayaan alainnya.
catatan : Upacara Ngadaton dengan mengikut sertakan Kawalik berlangsung sesudah hukum adat ditetapkan oleh Uria Ren'na dan Uria Biring pada abad ke-16 dan berakhir pada abad ke-19 sesudah dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda.

Hukum Adat Untuk Sukacita Atau Hukum Adat Tiba Welom Dan Hukum Adat Untuk Dukacita Masyarakat Lawangan

Ada beberapa jenis upacara adat yang dilaksanakan oleh orang Maanyan yang berkaitan dengan sukacita atau yang lazim dinamakan adalah hukum adat tiba welom. Jenis upacara adat tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Nyakit Puhet, suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Maanyan, yang berhubungan dengan kelahiran anak . Menurut kepercayaan masyarakat didaerah ini apabila seseorang baru melahirkan, maka perlu diadakan selamatan atas kelahiran anak tersebut. Sesudah tali pusarnya putus, maka diadakan selamatan dengan mengorbankan seekor ayam. Darah ayam tersebut ditampung kedalam sebuah mangkok, kemudian dipercikan kepada bayi itu dengan sejenis uang logam yang biasanya oleh orang yang terlebih tua, atau orang tua bayi itu ataupun orang lain sebagai tetangga yang terdekat. Dalam kepercayaan masyarakat Maanyan apabila ada orang baru melahirkan belum diadakan Nyaki Puhet, maka banyak tetangga yang tidak mau berkunjung ke rumah orang yang baru melahirkan itu disebabkan hal itu adanya larangan tabu atau Sawuh Sam'ar. Sawuh Sam'ar tersebut bersifat sementara sebelum tali pusarnya putus.
  2. Itarukasay adalah upacara adat yang berkaitan dengan pemberian nama kepada anak bayi yang kira-kira berumur 6 (enam) bulan. Upacara ini juga merupakan penolak bala yang bisa mengganggu anak tersebut. Dalam acara ini dilengkapi dengan sesajen yang terdiri dari sebuah kelapa, gula merah dan juga dilengkapi dengan berbagai jenis kue. Demikian juga sebagai kelengkapan dikumpulkan berbagai jenis daun yang masih hidup, yang diletakkan disebuah nampan. Acara ini juga dilengkapi dengan pengorbanan seekor ayam serta darahnya ditampung didalam sebuah bali-bali (sasiri). Setelah semua sesajen yang berkenaan dengan acara Itarukasay sudah lengkap maka seseorang yang telah ditentukan bercerita tentang kehidupan serta penghidupan anak tersebut dengan suka dan duka yang mesti ia hadapi. Semua duka maupun sukanya tersebut tidak perlu ditakuti sebab segala sesuatu akan dapat diatasi. Sebab anak itu telah diserahkan kepada Hiyang Piumbung Jaya Pikuluwi atau Tuhan Yang Maha Esa yang membimbing anak itu kepada hal-hal yang berguna bagi kedua orang tuanya dan masyarakat. Demikian juga hormat kepada semua orang serta mencintai Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi yang membimbing anak itu sepanjang hayatnya.
  3. Isirap atau lebih dikenal dengan sebutan Isirap Mihampe, acara ini menggunakan Wadian Dusun. Sedangkan sesajen yang diperlukan didalam melakukan acara ini adalah terdiri dari 2 (dua) piring beras, 2 (dua) batang lemang atau yang disebut dengan Pasike, daging babi, ayam dan ketupat dan lain sebagainya. Semua sesajen tersebut diberikan kepada Hiyang Pimbung Jaka Pikuluwi, yang disertai dengan ucapan Diki Hiyang, yang diucapkan oleh wadian dusun. Semua yang tersedia dihadapan wadian itu merupakan persembahan sebagai ucapan terima kasih, atas penyertaan Yang Maha Kuasa sepanjang tahun terhadap kehidupan mereka. Dalam melakukan kegiatan ini biasanya dilakukan sekali dalam setiap tahun, setelah panen selesai, sebagai ucapan terima kasih yang ditujukan kepada Roh Leluhur yang telah merestui segala usaha yang mereka lakukan selama ini. Pada acara Isirap tidak ada gamelan sebagai penyerta didalam melakukan kegiatan itu. Acara ini biasanya untuk melepaskan nazar apabila berhasil dalam suatu kegiatan dan lain ebaginya. Akan tetapi didalam melakukan acara Isirap, biasanyadilakukan juga acara memerikan sesajen kepada Roh Leluhur yang bermukim dipohon kayu yang disebut Panungkulan.
  4. Miempu adalah suatu acara adat yang mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai acara yang bersifat suka cita dan yang kedua sebagai sarana pengobatan orang sakit. Sebagai acara suka cita biasa, Miempu biasa menggunakan Wadian Bawo, Dadas dan Amunrahu. Akan tetapi bisa juga menggunakan wadian tersebut secara bersama-sama disatu tempat, misalnya Wadian Bawo bersama dengan Wadian Dadas yang disebut Raung Wundrung. Pelaksanaan wadian ruang wundrung ada perbedaan didalam melakukan Diki Hiyang serta sesajen, dengan wadian biasa, hanya memakai acara yang sama. Tujuan gabungan kedua wadian tersebut, sama-sama mengucapkan terima kasih kepada Hiyang Piumbung Jaya Pikuluwi. Dalam acara Miempu biasa juga dilakukan acara memandikan seseorang bayi serta disebut Mubur Walenon, artinya memandikan seorang anak bayi serta menyebut namanya yang diberitahukan kepada Wayu atau Diwata Ranu atau penguasa air agar anak itu selanjutnya perlu dijaga olehnya. Dalam Upacara Mubur Walenon merupakan ucapan terima kasih dari orang tuanya dengan menyelam didalam air sambil makan telur serta menanamkan tumbuhan seperti Kambat, yang disebut oleh oarang Maanyan dengan istilah Nyelem Taranang. Dalam acara ini biasanya memotong binatang babi serta ayam dan perlengkapannya yang lain mesti disediakan antara lain : katupat, pasike atau lemang dari beras dan beras yang diletakkan didalam sebuah tikar kecil berbentuk cembung yang disebut Nanah, tempat meletakkan gantungan yang terbuat dari daun kelapa muda atau daun enau yang disebut dengan Ibus yakni pada daun tersebut diikat beberapa lembar kain panjang perempuan atau Bahalai dan sebagainya. Apabila acara Miempu yang bersifat pengobatan orang yang sakit setelah dilakukan dengan cara melihat apa jenis penyakitnya dengan sebutan Mi'ini yakni mendeteksi penyakit secara paranormal yang diteruskan dengan pengobatan pertama yang disebut Iwuras. Iwuras tersebut dengan menggunakan beras dan kencur yang dikunyah lalu dikumur dalam mulut dengan disertai mantera-mantera yang kemudian disemburkan kepada orang sakit. Apabila usaha tersebut tadi tidak berhasil maka baru diadakan acara Miempu. Biasanya Miempu orang sakit dengan menggunakan wadian bawo yang disebut Nyangar Maling selama dua malam. Perlengkapan Miempu pada malam pertama sesajen yang disediakan sama dengan pada waktu miempu yang sifatnya suka cita, beras yang ditaruh di Nanah, guci yang ditutup dengan piring yang berjumlah 4 (empat) buah, tombak yang diletakan dipuput wundrung atau sokoguru rumah dan sebagainya. Malam pertama dari acara Miempu orang sakit disebut malam mencari pengobatan. Sedangkan malam kedua disebut malam pengobatan. Akan tetapi sesajen yang harus disediakan pada malam kedua, ada beberapa macam kue yakni yang berjumlah 41 (empat puluh satu) macam. Wadian masuk kedalam tanah yang dibuat semcam liang kubur akan tetapi tidak begitu dalam disebut dengan Saruga. Apabila wadian masuk ke saruga, gamelan terus dimainkan tidak diperkenankan berhenti selama wadian mengadakan pengobatan yang disebut Miusat, gamelan terus dimainkan sampai wadian selesai mengadakan miusat maupun keluar dari saruga. Sudah menjadi kebiasaan pada upacara tersebut. Sebab banyak benda-benda yang dibawa oleh wadian kedalam rumah pada waktu miusat (Kasarungan atau kesurupan). Apabila waktu Miusat tadi, wadian sering membawa benda-benda yang sifatnya sudah mati, seperti daun yang sudah kering dan sebagainya berarti orang sakit tersebut bisa meninggal dunia. Apabila wadian pada waktu itanang banyak membawa benda-benda hidup, misalnya daun yang masih hidup, atau apa saja yang sifatnya masih hidup, maka orang tersebut akan sembuh dari penyakitnya. Setelah selesai acara miempu biasanya selama 3 (tiga) hari dirumah orang yang melakukan acara Miempu tersebut tidak diperkenankan menerima tamu kecuali keluarga yang ikut dalam melakukan upacara saja. Larangan masuk, tidak menerima tamu setelah kegiatan Miempu selesai disebut Tampadi Pisan. Dalam kondisi tertentu dari penyakit yang diderita pasien tersebut mungkin tidak perlu acara Miempu cukup dengan Iraharen. Iraharen ada dua macam yaitu Iraharen Manta dan Iraharen Mandru namun ada juga dengan cara Manyapir. Semua acara ini memakai sesajen juga, tetapi tidak perlu diadakan Tatabuhan, dan pelaksanaannya cukup oleh kepala rumah tangga atau famili terdekat saja.
  5. Bontang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bontang Tamui Bukah-Lale. beberapa hari sebelum dimulai acara Bontang didirikan sebuah bangunan yang disebut Balai. Balai ini berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan yang sifatnya seremonial saja. Lamanya melakukan acara Bontang ialah 3 (tiga) hari. Hari yang pertama disebut Andrau Papaspali. Pada hari yang pertama ini, kegiatan difokuskan untuk mengelilingi semua makam keluarga dari pihak yang melakukan acara Bontang dengan membawa benda pusaka yang khusus (Ullu). Setelah mengelilingi semua makam tersebut maka Ullu tersebut diarak mengelilingi pohon yang mempunyai getah yang disebut Nuruk Nanyu (mengikat Halilintar) yang dilakukan oleh orang atau seorang penghulu yang sekaligus tempat asal benda tersebut diambil. Beberapa puluh meter dari Balai tempat meletakkan Ullu tersebut selama pesta adat itu berlangsung, sudah terdengar bunyi kenong, gendang dan gong yang bertalu-talu menyambut kedatangan orang yang membawa benda tersebut. Sebelum sampai dihalaman Balai rombongan yang membawa benda pusaka (Ullu) tersebut, disambut dengan sorak-sorai oleh anggota masyarakat serta keluarga dekat dengan disertai lemparan tombak yang disertai dengan Tarian Nampak (giring-giring) dan Tari Bahalai yang disebut Nandrik. Pada malam harinya kegiatan banyak dilakukan dihalaman rumah yang bersifat kegembiraan karena banyak orang melakukan Tarian Nampak dan berbagai jenis kegiatan yang lainnya. Didalam Balai terdapat tempat meletakkan Ullu yang diikat pada tiang bali atau sokoguru rumah beserta dengan guci, tombak dan ada juga seperti bendera yang disebut Lalayur Lalunsir. Pada hari yang kedua dari acara Bontang disebut hari Iparapah, acara ini tidak lebih dari pemberian korban yang ditujukan kepada Hiyang Piumbung Jaya Pikuluwi atas berkat yang diberikan kepada yang melakukan upacara ini. Pada acara Iparapah biasanya mengorbankan binatang sperti babi, ayam, itik dan kambing, sedangkan keluarga yang melakukan upacara ini berada dibawah tempat pemotongan binatang tersebut. Kalau sepintas kita lihat mereka tersebut mandi darah binatang yang dikorbankan. Kegunaan dari Iparapah ini adalah melunasi Nazar mereka kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi (Tuhan Yang Maha Esa). Pada sore harinya ada lagi acara yang mengantarkan sesajen kepada Pangingtulu (dewa-dewa) yang memelihara serta melindungi mereka, pada Panungkulan yang biasanya dipohon kayu yang dianggap keramat. Pada hari yang ketiga dari acara Bontang tersebut, dinamai Andrau Baraden, lalu mengadakan dua acara yang penting yakni Baraden dan Ngugah Tuak Datu. Acara Baraden dilakukan untuk menyucikan diri dari roh-roh yang membawa malapetaka kepada pihak yang melakukan upacara ini. Pada acara ini semua keluarga duduk mengelilingi tiang balai dan seorang yang melakukan acara ini biasanya membawa dupa (semacam dapur) tempat membakar kemenyan dan kayu gaharu. Asap dari kemenyan serta gaharu yang dibakar itu dikipaskan keseluruh ruang balai dengan disertai tarian bahalai (nandrik) dan giring-giring dengan irama kenong dan gendang yang lain dari yang lainnya. Acara membuka Tuak Datu biasanya dilakukan oleh Mantir. Setelah acara membuka Tuak Dato selesai dilanjutkan dengan acara kegembiraan bahwa acara bontang dapat dilaksanakan dengan lebih baik tanpa adanya rintangan dari roh jahat. Acara bontang menggunakan wadian dusun sebagai pelaksanaan dari acara ini serta dibantu oleh beberapa orang Panganak Hiyang yang khusus membantu dalam pembuatan sesajen yang berhubungan dengan acara ini. Dalam acara bontang ada yang mengorbankan binatang kerbau, akan tetapi waktu penyelenggaraan memakan waktu 7 (tujuh) hari lamanya. Bontang yang mengorbankan kerbau tidak ada bedanya dengan bontang yang lamanya tiga malam, semua persyaratan didalam upacara tersebut tidak berbeda jauh, hanya yang membedakannya adalah lama waktu dari penyelenggaraan upacara Miya. Dalam pelaksanaan bontang ada yang disebut Wurung Balai, yang bertugas hanya sebagai penari selama berlangsungnya upacara bontang.
  6. Nguruwayu atau Kuruwayu adalah suatu upacara adat yang ada kaitannya dengan acara suka cita yang paling tinggi nilainya dalam susunannya tata cara adat dalam bidang suka cita yang dimiliki oleh anggota masyarakat Maanyan. Mengapa dikatakan paling tinggi nilainya, sebab tidak sembarang dapat dilakukan apabila belum melakukan acara bontang terlebih dahulu. Upcara Nguruwayu dilakukan oleh wadian bawo, sedangkan bontang dilakukan oleh wadian dusun. Penyebutan kata Nguruwayu banyak dipakai oleh anggota masyarakat yang berada didaerah Kampung Sepuluh serta Banua Lima dan sekitarnya. Sedangkan kata penyebutan Kuruwayu dipakai dan digunakan oleh masyarakat di daerah Paku'u Karau dan sekitarnya. Acara Nguruwayu memerlukan waktu beberapa hari lamanya untuk menyelesaikan acara ini. Sesajen dalam acara ini tidak jauh berbeda dengan sesajen pada waktu melakukan kegiatan acara Miempu yang lamanya 2 (dua) malam. Jumlah wadian yang terlibat dalam melakukan acara ini sampai berjumlah 8 orang atau lebih. Didalam melakukan acara ini tidak mempunyai balai seperti acara bontang, dan semua kegiatan dilakukan didalam rumah. Pada waktu melakukan acara ini binatan g yang dikorbankan adalah ayam, babi seperti di acara bontang. Pada acara nguruwayu biasanya ayam yang paling banyak menjadi korban baik itu dipotong maupun dioles dengan minyak sebagai ucapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Dalam acara Nguruwayu tidak ada tarian Nampak dan Nandrik seperti bontang, hanya yang melakukan tarian adalah wadian yang melakukan acara itu yang disebut Ikinsai. Dalam acara Ikinsai adalah suatu acara yang diperlihatkan semua wadian yang terlibat dalam acara ini, bagaimana menari gelang bawo yang sebenarnya. Setiap hendak melakukan sesuatu terlebih dahulu diucapkan mantra-mantra yang dilakukan wadian yang terkenal dengan sebutan Nuak atau Luak Wadian. Setelah Nuak itu selesai disambut oleh pukulan kenong serta gendang dan gong yang digantung sedemikian rupa, semua alat yang dimainkan akan melahirkan nada-nada yang indah didalam mengiringi wadian yang melaksanakan acara tarian. Acara ini tidak terlepas dari ucapan terima kasih oleh pihak yang melakukan acara tersebut, kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi atas penyertaan dan perlindungan mereka selama ini. Serta ucapan terima kasih atas berkat yang dilimpahkan kepada kehidupan mereka selam ini, sehingga mereka dapat melakukan acara ini dengan selamat sampai selesai. Dalam acara Kuruwayu lebih ramai dari bontang , sesajen lebih rumit bila dibandingkan dari pada acara lainnya serta banyak kejadian yang langka justru dilakukan oleh wadian yang mengundang rasa haru dari masyarakat. Diatas telah diutarakan upacara ini merupakan upacara yang mempunyai tata nilai yang tertinggi dalam acara yang berkaitan dengan suka cita sebab ada 5 (lima) tingkatan kegiatan yang disebut Pasawetan dengan puja aneka warna dengan pengucapan Diki Hiyang Mandru. Lama penyelenggaraan acara Nguruwayu adalah 5 (lima) malam, kegiatan pada siang harinya berfokus pada kegiatan pembuatan sesajen untuk dipakai atau digunakan pada malam harinya begitu seterusnya sampai malam yang ter akhir. Penyebutan Nguruwayu sering digunakan oleh anggota masyarakat Kampung Sepuluh dan Benua Lima, sedangkan Kuruwayu sering dipakai atau disebut oleh suku Lawangan dengan cara pelaksanaannya tidak mempunyai perbedaan yang terlalu tajam hanya beda didalam penyebutan akan tetapi hukum dan aturannya sama. Demikian juga dengan Paju Epat juga ada mengadakan adat tentang suka cita yang disebut dengan Nguruwayu.
  7. Mira Kaiyat yang dilakukan oleh masyarakat Paju Epat yang berkaitan dengan acara suka cita, dilakukan oleh wadian dusun sama dengan Isirap kepada masyarakat Kampung Sepuluh, yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Hiyang Piumbung Jaka Pikuluwi atas penyertaaan mereka selam ini kepada keluarga yang bersangkutan. Dan bagi masyarakat Banua Lima juga ada acara suka cita akan tetapi sama dengan dilakukan oleh masyarakat kampung Sepuluh cara melakukannya. Tetapi ada perbedaan secara khusus pada Miempu menggunakan Wadian Diwa yang merupakan ciri khas dari daerah ini, dan tidak ditemukan diwilayah yang lain misalnya : Kampung Sepuluh, Pajut Epat dan Lawangan. Wadian Diwa biasanya dipakai untuk menyembuhkan orang sakit dan juga bisa dipakai atau dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat kesenangan. Irama untuk mengiring wadian tersebut lain dari yang lainnya, nama iraman gamelan khusus bagi wadian diwa ini disebut Dalang Dangking. Biasanya yang menjadi wadian diwa adalah seorang wanita. Wadian diwa juga bisa menari (Ikinsai) akan tetapi tidak menggunakan gelang sepertilayaknya seorang waadian yang lainnya, dan perlengkapannya sama dengan wadian yang lainnya. Pada uraian yang terdahulu pernah dikatakan bahwa masyarakat Lawangan merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari masyarakat Maanyan. Dari segi hukum adat dengan hukum adat masyarakat didaerah Kampung Sepuluh dan Banua Lima. Hanya terdapat perbedaan dari segi upacara ritual yang berkaitan dengan acara duka cita. Disamping itu juga masyarakat Lawangan mempunyai kaitan dengan masyarakat yang berada diwilayah Kalimantan Timur, secara khusus masyarakat Tonjong dan Benuaq. Kaitan dari kedua masyarakat tersebut diatas adalah dari segi bahasa maupun dari hal yang lainnya lagi mempunyai banyak kesamaan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat Lawangan juga dilakukan oleh masyarakat Dusun didaerah Pantai Barito, yang secar khusus masyarakat Dusun tersebut diatas tidak menjadi bahan penguraian dalam kesempatan ini. Upacara yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan dalam kaitannya acara ritual yakni Upacara yang berhubungan dengan suka cita dan berkaitan dengan acara ritual duka cita. Kedua acara tersebut ada kaitannya dengan yang dimiliki oleh masyarakat didaerah Kampung Sepuluh dan sekitarnya. Upacara yang ada kesamaannya tersebut adalah dalam kaitannya dengan acara suka cita, sedang yang acara duka cita terdapat perbedaan. Akan tetapi dari segi penyebutan atau peristilahan juga mengalami hal yang sam. Hal yang demikian itu tidak menjadi persoalan karena kesemuanya memuji kepada Hiyang Piumbung jaka Pikuluwi. Upacara ritual yang berkaitan dengan acara duka cita yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan berbeda jauh dengan upacara ritual masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan kepercayaan yang mereka imani memberikan ajaran yang mengatakan bahwa setiap orang yang meninggal dunia, pasti masuk Lumut Toro Tuntong walau dengan acara ritual yang paling sederhana mungkin. Hal yang demikian itu tidak terdapat dikalangan anggota masyarakat lainnya. Kita ambil contoh adalah upacara Miya yang dimiliki oleh masyarakat didaerah Kampung Sepuluh yang mengatakan bahwa setiap orang yang meninggal dunia tidak sampai ke Dato Tonyong Gahamari kalau tidak melalui upacara Miya atau Ngadaton. Sedangkan acara atau tingkatan Pankan Hanrueh Ngikap Tim'muk atau Pakan Tulakan, roh yang meninggal tersebut tidak masuk ke Dato Tonyong Gahamari. Hal inilah yang merupakan perbedaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut diatas.
Dalam kesempatan ini kita akan membicarakan upacara ritual yang dimiliki oleh anggota masyarakat Lawangan secara umum sifatnya.
Bagi masyarakat Lawangan bahwa upacara ritual yang berkaitan dengan duka cita mutlak untuk dilakukan agar roh orang yang telah meninggal tersebut dapat masuk Lumut Toro Tontong (Nirwana/Sorga). Menurut pemahaman anggota masyarakat Lawangan, orang yang meninggal tersebut dianggap oleh mereka adalah hanya memisahkan diri dari dunia ini sehingga rohnya dapat masuk kedunia yang lebih langgeng dan sempurna dari yang ada sekarang.
Bila anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga ada yang meninggal dunia maka dilihat apa profesinya selama ia masih hidup. Apabila profesinya sebagai wadian, kita ambil contoh maka segal peralatan sebagai seorang wadian dipasang pada mayat tersebut dan lalu didudukan pada sebuah gong. Sebagai tanda bahwa ada keluarga yang meninggal dunia, lalu dibunyikan gong selama tiga kali, yang pertama dibunyikan kearah matahari terbit. Kemudian dilanjutkan kearah matahari terbenam. Menghadap kedua arah mata angin tersebut membuktikan adanya kelahiran dan kematian didalam kehidupan manusia yang berada di dalam dunia ini.
Setelah mayat tersebut didudkan pada sebuah gong untuk beberapa saat, maka dimasukan kedalam peti mati yang biasanya terbuat dari pohon kayu durian atau Kalangkala. Bentuk peti mati tersebut juga ada perbedaan bagi seorang laki-laki dan bagi seorang perempuan.
Untuk peti mati laki-laki, dibagian ujungnya dari peti mati tersebut agak lancip. Sedangkan untuk yang perempuan tidak terdapat seperti peti mati laki-laki. Setelah mayat dimasukkan kedalam peti mati (Rarung, Tabala), sebagai dasar peti mati tersebut adalah 3 (tiga) potong batang pisang.
Upacara ritual yang dimiliki oleh masyarakat Lawangan, dalam kaitannya dengan acara duka cita ini hanya ada 1 (satu) jenis upacara ritual, yakni apa yang disebut dengan istilah Wara. Upacara ritual wara tersebut terbagi lagi didalam beberapa tingkatan. Tingkat upacara tersebut disesuaikan dengan kemampuan anggota keluarga yang tengah mengalami kedukaan tersebut.
Biasanya upacara ritual yang dilakukan oleh maasyarakat Lawangan adalah mayat yang masih belum dikebumikan. Mayat bisa dikebumikan bila upacara telah selesai. Jenis upacara ritual yang dilakukan oleh anggota masyarakat disesuaikan dengan tingkat perekonomian orang yang tengah mengalami duka cita. Upacara ritual yang paling sederhana sifatnya adalah Wara 1 (satu) malam yang disebut dengan istilah Taruyang.
Dalam upacara ritual yang memakan waktu 1 (satu) malam ini menggunakan seekor ayam, babi dan kambing yang harus dipotong, sebagai sesajen yang harus disediakan. Demikian juga dalam acara ini juga diwajibkan adanya seorang wadian wara sangat menentukan sekali dalam acara ini. Sesajen tidak begitu banyak dan rumit kalau kita banding dengan sesajen yang diperlukan pada acara Miya bagi masyarakat Kampung Sepuluh dan sekitarnya.
PElayan yang mempersiapkan segala sesuatu sesajen untuk kepentingan upacara ritual wara tersebut disebut Pangadik Wara. Kalau pelayan tersebut pada upacara Miya disebut Pisam'be. Wadian wara tidak memakai Luwuk Pitutui (pisau) sebagai petunjuk jalan bagi roh orang yang meninggal dunia tersebut sampai ke tempat yang ditentukan. Sebagai pengganti Luwuk Pitutui tersebut ada istilah dalam wara yang disebut Ngatet Adiau yakni Wadian Wara memasuki sebuah perahu, sehingga didayung dengan menggunakan lemang (Pisake) dengan disertai mantera (Huyongan)dengan demikian orang atau roh yang meninggal itu sampai Lumut Toro Tontong tempat adiau bagi masyarakat Lawangan.
Dalam acara wara yang lebih tinggi tingkatan dari Taruyang adalah wara yang memakan waktu sampai dengan 5 (lima) hari, 7 (tujuh) hari dan wara yang memakan waktu 9 (sembilan) hari. Sedangkan pengertian wara 5 (lima) hari dan seterusnya adalah 3 (tiga) hari Mandre Bangkai serta 2 (dua) hari acara wara. Demikian juga dengan pengertian wara 7 (tujuh) hari maupun yang 9 (sembilan) hari.
Untuk upacara wara 5 (lima) hari diwajibkan mengorbankan kambing, babi serta ayam. Demikian juga dengan perlengkapan yang lainnya sama dengan wara yang 1 (satu) malam.
Akan tetapi wara yang lamanya 7 atau 9 (tujuh atau sembilan) hari diwajibkan untuk mengorbankan seekor kerbau dan binatang lainnya.
Tata aturan dalam upacara ritual waranya adalah sebagai berikut :
  • Pada hari ke-3 dari mandre Bangkai, langsung dilakukan kegiatan upacara ritual yang disebut dengan Wara.
  • Pada hari mempersiapkan segala kegiatan yang berkaitan upacara wara dengan menyediakan hal yang berkaitan pada upacara tersebut.
  • Hari yang ke-4 dalam upacara disebut Andrau Ngarapak. Pada acara tersebut biasanya ditandai oleh pelaksanaan adu ayam jago pada arena yang telah disediakan pada hari yang ke-3. Sedangkan pada malam harinya diadakan acara Tarung Nyunang seperti pada acara Miya didaerah Kampung Sepuluh dan sekitarnya. Dalam acara ini didahului dengan acara minum tuak yang kadar alkoholnya rendah. sebelum tuak tersebut dipersilakan untuk diminum oleh semua anggota yang hadir terlebih dahulu diadakan acara Enteng Sunang yang harus didahului oleh pembawa acara yang disebut Anak Tanggayungan. Pembawa acara ini mengajak semua yang hadir untuk minum tuak tersebut yang didahului dengan kata-kata yang pada intinya meminta dengan hormat untuk minum tuak tersebut. Permintaan tersebut sebagai bukti atau tanda rasa hormat dari yang melakukan acara wara kepada para tamu yang hadir. Kata-kata yang diutarakan oleh Anak Tanggayungan tersebut biasanya menggunakan bahasa satra yang tinggi nilainya.
  • Pada hari ke-5 ada yang disebut Andrau Mansar. Hari yang terakhir dari rangkaian wara ang membutuhkan waktu selam 5 (lima) hari, pada hari itu bila kita kaitkan dengan acara miya adalah Andrau Nantak Syukur. Setelah acara Andrau Mansar ini selesai kemudian dilanjutkan dengan upacara penguburan mayat. Terhitung setelah acara ini, maka pada tiap tahunnya diadakan Ngatek Panuk. Dalam hal ini adalah memberikan sesajen kepada roh yang meninggal tersebut. Karena menurut kepercayaan masyarakat Lawangan selama tiga tahun roh yang meninggal itu masih bisa kembali kerumah keluarganya, maka selama 3 (tiga) tahun berturut-turut diadakan acara pemberian sesajen ke makam orang meninggal tersebut. Setelah tiga tahun semenjak acara wara selesai, roh orang tersebut tidak dapat kembali lagi seperti tiga tahun sebelumnya.
setelah beberapa tahun setelah acara Nguang Panuk (Ngatet Kalangkang) selesai, maka diadakan acara membongkar makam tersebut serta mengambil tulang-belulang untuk disimpan pada sebuah guci yang besar yang disebut Taluh. Pada bagian rangka badan dimasukan kedalam Taluh sedangkan tengkorak kepala dimasukan kedalam Tabala atau Kariring.
Tengkorang yang dapat dimasukan Tabala atau Kariring biasanya yang telah melakukan upacara ritual wara selama 7 (tujuh) dan 9 (sembilan) hari lamanya. Wara yang memakan waktu 5 (lima) hari dapat masuk Tabala dengan syarat melakukan kewajiban mengorbankan kerbau. Sedangkan yang melakukannya selama 7 (tujuh) hari bisa langsung masuk Tabala dan yang melakukannya selama 9 (sembilan) hari juga boleh langsung masuk Kariring.
Bentuk Tabala serta Kariring adalah pada bagian atas tempat menyimpan tengkorang kepala berbentuk naga dengan dihiasi ukiran yang sangat indah sekali. Perbedaan Tabala dengan Kariring yakni Tabala mempunyai tiang dua buah sedangkan Kariring mempunyai tiang satu buah. Taluh biasanya sebagai tempat menyimpan tulang atau rangka badan, sedangkan Tabala dengan Kariring biasanya tempat menyimpan tengkorak kepala setelah dilakukan pembokaran darai makam asalnya. Pada saat memasukan tengkorak kedalam Tabala maupun Kariring diharuskan membunuh seekor babi sebagai sesajennya. Dalam acara memasukan tengkorang kepala kedalam Tabala atau Kariring tidak menggunakan wadian. Nilai kesempurnaan yang diperoleh roh orang meninggal tersebut menurut kepercayaan masyarakat Lawangan setelah upacara wara adalah apabila beberapa tahun kemudian tengkorak kepala dimasukan kedalam Kariring. Apabila tengkorang kepala dapat masuk Kariring sempurnalah seluruh upacara ritual bagi masyarakat Lawangan, yang berkaitan dengan acara duka cita.
Apabila tengkorak kepala dari keluarga yang bersangkutan dapat masuk Kariring maka prestise keluarga menjadi baik dihadapan anggota lainnya.
Upacara wara tidak hanya dilakukan oleh masyarakat didaerah kecamatan Dusun Tengah melainkan juga dilakukan oleh masyarakat daerah Kotam, Bon'nai yang menamakan diri mereka dengan sebutan Dusun Daeh. Dari segi upacara kepercayaan masyarakat tersebut diatas mempunyai kesamaan dengan anggota masyarakat didaerah Ampah yang terletak sebelah utara dari kota Tamianglayang sekarang ini.